image

Ketua MPR Menampung Aspirasi Gerakan Kebangkitan Indonesia

Rabu, 06 Februari 2019 17:40 WIB

Ketua MPR Zulkifli Hasan menerima sejumlah komponen masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Kebangkitan Indonesia (GKI), yaitu purnawirawan TNI-Polri, organisasi kejuangan (Pepabri, FKPPI, IARMI), mahasiswa dari enam perguruan tinggi, dan sepuluh organisasi kemasyarakatan. GKI menyampaikan aspirasi untuk kembali ke UUD 1945 yang asli. Penerimaan aspirasi ditandai dengan penyerahan buku berjudul “Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945” kepada Ketua MPR.

Penyampaian aspirasi GKI yang berlangsung di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (6/2/2019) dihadiri Letjen TNI Purn Sayidiman Suryohadiprojo, Irjen Pol Purn Taufiequrachman Ruky, Jenderal TNI Purn Agustadi, dr. Hariman Siregar, Priyanto, Pimpinan Badan Pengkajian MPR, Pimpinan Lembaga Pengkajian MPR, Sesjen MPR Dr. Ma’ruf Cahyono, Sesjen DPD Reydonnizar Moenek.

Penyampaian aspirasi diawali dengan pengantar dari pemrakarsa GKI Taufiequrachman Ruky. Dalam pengantarnya Taufiequrachman Ruky menyatakan UUD yang dibuat pada tahun 2002 dengan cara melakukan amandemen terhadap UUD 1945 telah menjadikan UUD 1945 kehilangan jiwa, spirit, dan semangatnya. “Norma Pancasila ada di dalam Pembukaan UUD, namun nilai-nilai Pancasila tidak pernah dituangkan ke dalam batang tubuh UUD berupa pasal-pasal. Bahkan rumusan kata Pancasila itu sendiri tidak dituangkan dalam UUD 2002,” ujarnya.

“Sementara itu terang-terangan ada sejumlah pasal baru hasil amandemen yang nilai-nilainya bertentangan dengan makna dan nilai dari sila-sila dalam Pancasila yang ada pada Pembukaan UUD 1945,” imbuhnya.

Dengan kembali ke UUD 1945, lanjut Ruky, GKI tidak bermaksud mengajak kembali ke suasana politik tahun 1945, apalagi mengajak ke situasi Orde Baru yang bernuansa otoritarian dan militeristik. “Tapi kita kembali kepada prinsip-prinsip dan norma-norma yang disusun oleh para founding fathers dan mothers ketika membentuk NKRI,” tuturnya.

Setelah pengantar dari Taufiequrachman Ruky, masing-masing perwakilan menyampaikan aspirasi yang sama, yaitu kembali ke UUD 1945. Di antaranya perwakilan dari purnawirawan TNI yang disampaikan Jenderal TNI Purn Agustadi, perwakilan mantan aktivis mahasiswa 80’an dr. Hariman Siregar, perwakilan akademisi Dr. Sutanto, perwakilan organisasi kemasyarakatan, perwakilan mahasiswa. Penyampaian aspirasi ditutup oleh Priyanto, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Dalam penutup aspirasi, Priyanto mengungkapkan sejumlah alasan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli. Pertama, agar persatuan bangsa Indonesia tidak terkoyak-koyak. Kedua, dengan persatuan yang terkoyak dan kedaulatan yang nyaris hilang, sumber kekayaan yang dikuasai asing, maka suka tidak suka bangsa Indonesia ini akan punah. “Jadi untuk mencegah kepunahan itu kita harus kembali ke UUD 1945,” katanya.

Ketiga, agar bisa menyempurnakan UUD 1945 untuk menghadapi masa kini dan menyongsong masa depan. Keempat, agar bisa mencapai cita-cita Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, aman tentram, dan adil makmur.

Dalam tanggapannya, Ketua MPR Zulkifli mengatakan akan menampung aspirasi dari GKI dan akan disampaikan pada rapat gabungan pimpinan MPR dengan fraksi-fraksi. “Ini menjadi bahan kajian di Badan Pengkajian MPR dan Lembaga Pengkajian MPR,” ujarnya.

Sebelum ini, MPR juga menerima delegasi dari elemen masyarakat baik yang menyuarakan ingin kembali ke UUD 1945 maupun kelompok yang menganggap UUD ini sudah baik. Dari dua kelompok itu, MPR baru bisa menyepakati perlunya haluan negara untuk masuk dalam perubahan kelima UUD. “Pada prosesnya akhirnya bergantung pada keputusan politik,” katanya.

Zulkifli menjelaskan dalam sidang tahunan 2018, MPR sudah membentuka Panitia Ad Hoc (PAH). Salah satu PAH adalah merumuskan haluan negara. “Kalau MPR periode lalu hanya dalam bentuk rekomendasi, maka kita ingin MPR periode ini sudah dalam bentuk buku (haluan negara),” ujarnya.

Meski demikian, Zulkifli mengakui bahwa UUD memang perlu penyempurnaan. Dia memberi contoh hubungan antar lembaga negara. Ketika ingin menyelenggarakan Sidang Tahunan MPR, MPR mengalami kesulitan karena lembaga-lembaga negara lain menganggap kedudukannya sejajar. Akhirnya, Sidang Tahunan menjadi konvensi ketatanegaraan. “Saya setuju perlu penyempurnaan sistem ketatanegaraan,” ucapnya.