image

Dampak Perekonomian Global Harus Dijawab dengan Kebijakan Ekonomi yang Efektif

Rabu, 05 Oktober 2022 18:33 WIB

Kekhawatiran publik dalam menghadapi dampak perekonomian global harus dijawab dengan meningkatkan kebijakan pemulihan ekonomi  yang efektif.

"Kendati ekonomi Indonesia tahun 2022  diprediksi  berbagai lembaga internasional tumbuh pada level antara 5,1% hingga 5,4%,  aktivitas ekonomi dalam negeri perlu diperkuat dengan  mengoptimalkan setiap potensi ekonomi  yang kita miliki," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya saat membuka diskusi daring bertema Peluang Indonesia dalam Ketidakpastian Ekonomi Global yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (5/10).

Diskusi yang dimoderatori Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA (Dosen Universitas Pelita Harapan) itu menghadirkan Kiki Verico, S.E., MRI., Ph.D (Tenaga Ahli Menteri Keuangan RI - Staf Pengajar FEB UI), Shanti Shamdasani (CEO Strategic ASEAN International Advocacy & Consultancy /SAIAC), Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec (Menteri Keuangan RI Periode 2013 – 2014) dan Prof. Dr. Rudi Purwono, S.E., M.SE. (Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga) sebagai narasumber.

Selain itu, hadir pula David Sumual (Kepala Ekonom PT Bank Central Asia/BCA) dan Olivia Louise (Financial Expert CNBC Indonesia) sebagai penanggap. Menurut Lestari, saat ini pertumbuhan ekonomi nasional terus berlanjut, namun melambat di banyak negara.

Meski  demikian, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, kinerja ekonomi Indonesia saat ini relatif  tumbuh kuat dengan kinerja sektor  eksternal Indonesia yang sangat positif, didukung neraca perdagangan yang melanjutkan tren surplus ekspor dan impor pada Agustus 2022.

Namun, menurut Rerie, penanganan dampak krisis global ini tidak hanya bisa mengandalkan kekuatan dalam  negeri.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menilai, diperlukan kolaborasi dan sinergi antarnegara baik dalam satu  kawasan maupun antarkawasan.

Penanganan krisis, ujar Rerie, membutuhkan upaya berkelanjutan agar sejumlah krisis lebih cepat terurai.

Jika setiap masalah yang terurai bisa segera diatasi, Rerie sangat berharap ekonomi Indonesia bisa segera bangkit agar terhindar dari ancaman krisis yang lebih dalam lagi.

CEO SAIAC, Shanti Shamdasani mengungkapkan saat ini dunia dilanda krisis yang tidak bisa dihindari.

Selain perang Rusia dan Ukraina serta pandemi, menurut Shanti, harus diwaspadai juga faktor lain yang akan mempengaruhi krisis sebagai dampak ekonomi global, seperti digitalisasi pada sektor keuangan yang membuat uang sulit sekali dipagari.

Bukan hanya gejolak perang di Rusia dan Ukraina, menurut Shanti, goncangan pada ekonomi Taiwan juga berpotensi menambah beban krisis terhadap ekonomi global yang berdampak pada ekonomi negara-negara di Asia.

Tenaga Ahli Menteri Keuangan RI / Staf Pengajar FEB UI, Kiki Verico mengungkapkan, saat ini terjadi goncangan pada rantai pasokan dunia karena merosotnya industri elektronik dan otomotif dunia sebagai dampak pandemi dan perang Rusia dengan Ukraina.

Karena kebutuhan logistik untuk sektor elektronik dan otomotif sangat besar, tambah Kiki, ketika produksi elektronik dan otomotif jatuh karena pandemi dan perang maka terjadi goncangan pada rantai pasokan global.

Perekonomian lesu akibat pandemi dan perang saat ini, menurut Kiki, tidak separah dampak pandemi dan perang yang terjadi pada masa Perang Dunia II.

Karena saat ini, ujar Kiki, kita mememiliki sejumlah lembaga keuangan dunia yang mampu menyerap goncangan dampak krisis global yang terjadi.

Kiki berpendapat, dampak krisis global terhadap Indonesia tidak sebesar sejumlah negara, antara lain karena Indonesia cukup dominan pada industri makanan, minuman dan tembakau. Sedangkan pada krisis global saat ini, tambahnya, sebagian besar yang terpukul adalah manufaktur sektor elektronik. dan otomotif.

Menteri Keuangan RI Periode 2013 – 2014, Muhammad Chatib Basri berpendapat, sejumlah tekanan geopolitik seperti dampak konflik Rusia-Ukraina, melambatnya ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok serta negara-negara Eropa akan berdampak pada perekonomian Indonesia.

Dengan melemahnya perekonomian di negara-negara tujuan ekspor Indonesia itu, menurut Chatib, akan berdampak juga pada melemahnya perekonomian Indonesia pada 2023.

Meski begitu, ujar Chatib, melemahnya perekonomian Indonesia tidak separah Singapura. Karena, tambahnya, proporsi ekspor Indonesia hanya 25% dari GDP.

Chatib yakin, meski perekonomian Indonesia akan slow down, namun belum sampai resesi. "Untuk menghadapi kondisi perekonomian yang serba salah saat ini, tidak ada ruang untuk membuat kesalahan," ujarnya.

Wakil Direktur Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga, Rudi Purwono mengungkapkan, secara global lembaga-lembaga keuangan dunia  mengungkapkan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2022 akan lebih rendah daripada 2021, dan pertumbuhan ekonomi pada 2023 akan lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi 2022.

Komoditas pangan dan energi, ujar Rudi, masih menjadi pengaruh utama pada perekonomian dunia. Dia memperkirakan, negara-negara di Asia Tenggara masih bisa mencatatkan inflasi yang relatif terkendali.

Rudi menyarankan Pemerintah untuk menjaga pasar domestik di tengah potensi daya beli masyarakat yang rendah.

Dia berharap APBN tetap sehat untuk dapat menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan miskin, serta mendorong pertumbuhan dunia usaha.

Kepala Ekonom BCA, David Sumual  berpendapat kondisi perekonomian Indonesia pada 2023 diperkirakan sangat baik.

Karena, menurut David, di tengah perekonomian global yang terguncang saat ini Indonesia mendapatkan sejumlah windfall profit dari kenaikan harga beberapa komoditas.

Dia berharap, hasil dari windfall profit itu dimanfaatkan untuk belanja yang produktif, seperti meningkatkan kapasitas produksi manufaktur dan perdagangan di sektor usaha, mikro, kecil dan menengah (UMKM).

David berpendapat, kebijakan yang lebih integral antarinstitusi pemerintah sangat dibutuhkan agar mampu memanfaatkan potensi di sejumlah sektor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Financial Expert CNBC Indonesia, Olivia Louise mengungkapkan di tengah guncangan ekonomi global banyak mata uang utama dunia terdepresiasi, namun mata uang Indonesia justru menguat. "Mudah-mudahan kondisi sperti ini bisa berlanjut," ujar Olivia.

Dengan kondisi tersebut, Olivia optimistis Indonesia tetap bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dengan baik.

Jurnalis senior Saur Hutabarat berharap kerja sama yang baik antara Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dan Kementerian Keuangan sebagai pemegang otoritas keuangan di tanah air terus terjaga agar mampu menghasilkan kebijakan yang baik dalam menyikapi dampak perekonomian global.*


Anggota Terkait :

Dr. LESTARI MOERDIJAT S.S., M.M.