image

Kolaborasi yang Kuat Semua Pihak Penting untuk Wujudkan Pengurangan Risiko Bencana

Rabu, 12 Oktober 2022 20:43 WIB

Dibutuhkan kolaborasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, serta lembaga terkait untuk mengedepankan kearifan lokal dalam kebijakan penanggulangan bencana dalam rangka pengurangan risiko bencana.

"Pengurangan risiko bencana dengan memanfaatkan kearifan lokal dapat dilakukan dengan dukungan  pemahaman menyeluruh para pemangku kepentingan, masyarakat dan sejumlah lembaga, terkait bencana dan berbagai dampaknya," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya, pada diskusi daring bertema Kearifan Lokal dalam Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Pengurangan Risiko Bencana (PRB), yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (12/10).

Diskusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu, menghadirkan Hj. Sri Wulan, S.E. (Anggota Komisi VIII DPR RI), Ratna Susianawati (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA RI), Dr. Ir. Agus Wibowo, M. Sc. (Direktur Pengembangan Strategi Penanggulanagan Bencana BNPB), Dr. Doni Yusri (Kepala Pusat Studi Bencana, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor/ LPPM IPB) dan Dr. Djati Mardiatno, M.Si, (Kepala Pusat Studi Bencana Alam /PSBA Universitas Gadjah Mada) sebagai narasumber.

Hadir pula Dicky Chresthover Pelupessy, Ph.D (Wakil Ketua Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia/MPBI) dan Trimalaningrum (Direktur Yayasan Skala Indonesia) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, saat ini terdapat sejumlah isu penting terkait pengurangan risiko bencana (PRB) seperti antara lain perencanaan, logistik, kompetensi masyarakat lokal dan yang terpenting menciptakan kultur kesiapsediaan.

Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat pemanfaatan kearifan lokal, kebijakan publik yang memadai dan pola hidup masyarakat yang ramah lingkungan bisa menjadi  penentu dalam pengurangan risiko bencana.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpendapat dengan berkurangnya risiko bencana berarti mendukung kemajuan dalam upaya  penanggulangan bencana.

Untuk mewujudkan hal itu, tegas Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, diperlukan komitmen yang kuat dari setiap anak bangsa.

Direktur Pengembangan Strategi Penanggulanagan Bencana BNPB, Agus Wibowo mengungkapkan Indonesia adalah wilayah rawan bencana yang berisiko tinggi.

Menurut Agus berdasarkan pengalaman yang ada, bencana adalah suatu peristiwa yang berulang, sehingga penting bagi masyarakat untuk memahami sejarah suatu wilayah.

Penyebab bencana, ujar Agus, karena adanya potensi bahaya dan kerentanan di suatu wilayah. Kerentanan muncul, tambah dia, biasanya karena infrastruktur yang ada tidak memadai dalam menghadapi potensi bencana.

Sebagai contoh, ungkap Agus, kawasan rawan banjir, namun masih banyak pemukiman di tepi sungai atau di kawasan rawan gempa, tetapi rumahnya tidak didesain tahan gempa.

Diakui Agus, pola kepemimpinan di setiap daerah sangat menentukan dalam keberhasilan menghadapi ancaman bencana. Komitmen politik setiap pemimpin daerah sangat penting dalam upaya penanggulangannya.

Namun, tegas Agus, sesungguhnya lebih dari 96% masyarakatlah yang sangat berperan dalam upaya penanggulangan bencana. Sehingga, tambahnya, penting untuk diupayakan pemberdayaan masyarakat agar tangguh dalam menghadapi bencana.

Pemahaman terkait ancaman bencana di setiap wilayah, jelas Agus, akan mengurangi potensi kerentanan suatu kawasan untuk mendorong pengurangan risiko bencana.

Anggota Komisi VIII DPR RI, Hj. Sri Wulan mengungkapkan data BNPB menyebutkan per 1 Januari 2022 hingga 27 Maret 2022 tercatat 1.081 bencana, yang sebagian besar terjadi di Pulau Jawa seperti banjir, cuaca ekstrem dan tanah longsor. Bencana alam itu, ujar Sri Wulan, berdampak terhadap 1,6 juta warga.

Tingginya risiko bencana itu, menurut Sri Wulan, mendorong upaya pengurangan risiko bencana yang harus dilihat sebagai upaya investasi untuk mencegah kehilangan masa depan kita.

Menurut dia, kearifan lokal dalam pencegahan bencana harus diapresiasi. Karena, jelas Sri Wulan, sesungguhnya kita bisa melakukan upaya pencegahan bencana dengan cara-cara atau budaya yang telah kita pahami secara turun temurun.

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA RI, Ratna Susianawati berpendapat tingginya risiko bencana di Indonesia juga menimbulkan kerentanan baru terhadap perempuan dan anak yang dalam kondisi normal pun sudah berhadapan dengan kerentanan dalam keseharian.

Diakui Ratna, risiko terbesar dari bencana masih dialami oleh perempuan dan anak. Sehingga,  tambahnya, perlu didorong upaya bagaimana perempuan mampu berdaya dalam suatu kondisi bencana, sehingga perempuan juga bisa sebagai relawan.

Menurut Ratna, semua pihak harus membuka ruang-ruang pemberdayaan perempuan pascabencana. Selain itu, ketersediaan data terpilah menjadi sangat penting dalam upaya pemulihan kawasan pascabencana.

Kepala Pusat Studi Bencana, LPPM IPB, Doni Yusri berpendapat dengan keberagaman yang dimiliki negeri ini pasti banyak memiliki pengetahuan lokal untuk mencegah bencana.

Namun, ujarnya, kendala saat ini masyarakat lokal kerap termarginalkan. "Sehingga kita seringkali hanya mengedepankan pemanfaatan teknologi sebagai sumber informasi dalam memitigasi bencana," ujarnya.

Doni berpendapat para pemangku kepentingan harus mampu memadukan kemampuan perangkat berbasis teknologi dan kearifan lokal untuk menghadirkan solusi penanggulangan bencana di tanah air.

Kepala PSBA Universitas Gadjah Mada, Djati Mardiatno berpendapat kearifan lokal merupakan pengetahuan yang diperoleh sekelompok orang yang diturunkan dari generasi ke generasi dan pengetahuan itu sangat empirik.

Karena pengetahuan itu bersifat lokal, ujar Djati, sehingga tidak bisa diterapkan di tempat lain. Diakuinya ada interelasi antara kearifan lokal dengan budaya.

Dengan sejumlah kondisi itu, Djati menilai, peran serta masyarakat sangat penting dalam upaya pengurangan risiko bencana. Tugas para akademisi, jelas Djati, menjelaskan agar kearifan lokal menjadi logis sehingga dapat diterapkan dalam proses penanggulangan bencana.

Wakil Ketua MPBI Dicky Chresthover Pelupessy berpendapat dengan banyaknya kearifan lokal yang ada, kita harus mengoptimalkan kearifan lokal itu dalam merespon bencana.

Karena bagaimana pun, tegas Dicky, yang pertama kali merespon bencana itu masyarakat lokal di kawasan yang terdampak. Dicky menyarankan agar posisi kearifan lokal dalam tata kelola penanggulangan bencana diperjelas. Setiap potensi yang dimiliki masyarakat, tambahnya, harus bisa dimaksimalkan dalam sebuah tata kelola.

Direktur Yayasan Skala Indonesia,Trimalaningrum  menilai masyarakat lokal itu bagaikan ilmuwan sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya mampu melindungi mereka dari ancaman bencana.

Soal kerentanan perempuan dalam setiap bencana, Trimalaningrum berpendapat, sebenarnya sudah banyak aturan yang mampu melindungi perempuan saat bencana terjadi. Namun, jelasnya, aturan yang ada kerap kali terabaikan. Di akhir diskusi, jurnalis senior Saur Hutabarat mempertanyakan kemungkinan kearifan lokal diangkat menjadi kearifan nasional, sehingga mampu mengisi kekosongan dalam proses mitigasi bencana secara umum di tanah air.

Di sisi lain, Saur juga mempertanyakan, bila kawasan-kawasan yang dilalui lempeng tektonik dan lempeng gempa bumi sudah teridentifikasi, mengapa tidak dilakukan relokasi sejak dini, agar kita tidak perlu lagi merehabilitasi kawasan yang rawan bencana.*


Anggota Terkait :

Dr. LESTARI MOERDIJAT S.S., M.M.