image

Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan: Dana Bantuan IMF tetaplah utang yang membebani Rakyat

Jumat, 10 September 2021 17:59 WIB

 

Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan menyoroti bantuan dana dari International Monetary Fund (IMF) dalam bentuk fasilitas Special Drawing Rights (DSR) sebesar US$ 6,32 miliar atau setara Rp 90,2 triliun. Dana bantuan ini praktis membuat cadangan devisa Indonesia bertambah menjadi US$ 144,8 miliar per Agustus 2021. Jumlah ini naik dibandingkan pada bulan Juli 2021 sebesar US$ 137,3 miliar. Dengan adanya dana bantuan ini, praktis ruang fiskal Indonesia semakin longgar. Namun apakah dana bantuan ini memang betul-betul kita butuhkan?

Menurut Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini, dana bantuan IMF ini akan menimbulkan masalah tersendiri, yakni beban utang yang lebih besar. Di masa depan, ini justru akan membuat tekanan terhadap APBN menguat, bahkan menjadi beban fiskal yang akan diwariskan oleh pemerintah berikutnya, serta menjadi tanggungan rakyat. Seharusnya pemerintah bisa mengaca pada keberhasilan Pemerintahan SBY yang berhasil melunasi utang pada IMF di tahun 2006, lebih cepat 4 tahun dari yang dijadwalkan. Bukan justru menambah utang.

“Pemerintah tidak bisa berkelit bahwa dana bantuan IMF ini adalah utang. Apakah khusus untuk DSR ini jangka waktu pengembaliannya lebih longgar, utang ini tetap mesti dilunasi. Bahkan pertanyaan paling pokoknya: apakah kita memang benar-benar membutuhkan dana bantuan ini? Jika memang kita tidak begitu membutuhkan, jelas pemerintah mengambil langkah keliru. Jika benar fundamental ekonomi masih cukup kuat, kita tidak membutuhkan tambahan utang baru,” ungkap Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.

Padahal, yang namanya utang tetap harus dilunasi, apalagi ada bunga yang juga mesti dibayar. Karenanya, politisi senior Partai Demokrat ini berpandangan pemerintah harus sangat berhati-hati untuk menambah utang baru. Utang yang sudah ada saja sudah memberikan tekanan yang teramat berat terhadap APBN, apalagi ditambah dengan jumlah utang yang nilainya Rp 90,2 triliun. Ini nilai yang besar, yang juga harus dilunasi dengan beban bunga yang besar.

“Saya sangat menyayangkan sikap pemerintah yang masih saja doyan mengobral utang. Sementara di sisi lain, pemerintah kerapkali membanggakan pertumbuhan ekonomi mengesankan. Realisasi ekspor neto dan investasi meningkat. Ini jelas sebuah anomali, bahkan kebijakan yang tidak tepat arah. Jika memang pemerintah cukup percaya diri dengan kinerja perekonomian, harusnya tidak perlu menambah utang baru,” sesal Syarief.

Apalagi, menurut Syarief, posisi utang per Juli 2021 telah mencapai angka Rp 6.570,17 triliun atau 40,51 persen dari PDB. Pada APBN 2022, pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp 405,9 triliun, lebih besar 10,8 persen dari outlook 2021. Jika memang pemerintah mengklaim dana bantuan IMF ini diberikan tanpa diminta, maka sudah seharusnya pemerintah berani menyatakan Indonesia tidak membutuhkan tambahan utang baru. “Saya khawatir pemerintah mengambil resiko besar yang justru akan ditanggung bersama oleh seluruh rakyat Indonesia. Jelas kinerja utang kita menunjukkan indikator yang mencemaskan,” tutup Syarief.


Anggota Terkait :

Prof. Dr. H. SJARIFUDDIN HASAN, M.M, M.B.A.