image

Hidayat Nur Wahid: MPR Mendukung Pelestarian Budaya

Sabtu, 20 Agustus 2016 22:00 WIB

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dan beberapa anggota MPR di antaranya Martri Agung (Fraksi PKS), Zainut Tauhid (Fraksi PPP), Mohamad Toha (Fraksi PKB) dan Sekjen DPD Prof Sudharsono serius menyaksikan pertunjukan langka wayang beber di lapangan Desa Gabugan, Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Sabtu malam (20/8/2016).

Pagelaran wayang ini merupakan salah satu metode sosialisasi Empat Pilar MPR. Sebelum menyaksikan pagelaran wayang beber, Hidayat Nur Wahid mengatakan MPR sudah sering melakukan sosialisasi melalui seni budaya. "Apa yang dulu diwariskan nenek moyang bisa kita dekatkan lagi pada masyarakat melalui media yang akrab dengan rakyat," katanya.

Dengan pagelaran seni budaya ini, menurut Hidayat Nur Wahid, MPR telah melakukan dua hal yaitu pagelaran seni budaya menjadi bagian dari sosialisasi Empat Pilar dan MPR mendukung pelestarian budaya. "Keberadaan seni budaya seperti wayang beber, wayang kulit, golek, maka MPR ikut melestarikan dan menjaga kebudayaan luhur," ujarnya.

Dalang Ki Tri Hartanto naik ke panggung dengan ritual. Lampu lilin dan sesajen pisang dan makanan lainnya ditempatkan di depan gulungan wayang beber. Dalang melakukan ritual sebelum membuka wayang beber. Tercium aroma dupa di sekitar wayang beber. Pagelaran wayang beber pun dimulai.

Dalang Ki Tri Hartanto adalah ahli waris trah Naladermo yang merupakan generasi kedua belas. Dalang berusia 23 tahun ini membawakan lakon "Joko Kembang Kuning". 

Wayang beber adalah jenis pertunjukan wayang yang menggunakan media kain (mori). yang berisi lukisan para tokoh sekaligus cerita wayang. Karena panjangnya lukisan maka kain (mori) harus digulung pada tiang di dua sisi dan hanya menyisakan bentangan kain berisi adegan yang sedang diceritakan dalang.

Disebut wayang beber karena si dalang harus membeber atau membuka gulungan kain dalam mementaskan lakon-lakonnya. Lakon berpijak pada cerita panji yaitu roman percintaan antara Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji. 

Wayang ini sudah ada dan jauh lebih tua dari wayang kulit. Bagi sebagian orang wayang beber masih dianggap kramat. Keluarga ahli waris tidak mengizinkan sembarang orang melihat lembaran asli wayang beber. Jika terpaksa harus dilihat perlu ritual khusus.