image

Jazilul Fawaid: Sosialisasi Harus Sesuai Perkembangan Jaman

Rabu, 06 November 2019 16:12 WIB

 

Di hadapan puluhan wartawan, anggota MPR dari Kelompok DPD, Agustin Teras Narang, mengajak semua untuk menengok kembali ke masa lalu. Dikatakan bangsa ini adalah bangsa yang besar. Sebelum ada Indonesia, wilayah negara ini merupakan kepulauan yang disebut dengan Nusantara. Di Nusantara ada berbagai kerajaan dan kesultanan yang mana kekayaan atau sumber daya alam melimpah ada padanya.  “Mereka beragam latar suku, agama, dan budaya”, ujarnya.

Dalam perjalanan waktu, ada keinginan seluruh potensi yang ada untuk menyatukan diri. Langkah awal dilakukan Budi Utomo pada tahun 1908. Lebih lanjut Teras Narang dalam acara ‘Diskusi Empat Pilar MPR’, yang digelar di Media Center, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, 6 November 2019, menuturkan, keinginan untuk bersatu, berbangsa,  dan bernegara semakin kuat ketika Kongres II Pemuda pada 28 Oktober 1928 menyatakan satu nusa, bangsa, dan bahasa Indonesia. “Mereka juga hadir dengan beragam latar”, ucapnya.

Keinginan para pemuda tak berhenti di tahun 1928. Dasar kuat para pemuda dilanjutkan oleh Presiden Soekarno ketika pada 1 Juni 1945 menyampaikan pidato tentang Pancasila. Pidato yang dipaparkan oleh Soekarno menurut Teras Narang sebagai dasar dari landasan berbangsa dan bernegara. Lagi-lagi disebut perjuangan tak berhenti di situ. Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. “Itu juga berkat dorongan dari para pemuda”, ujar mantan Gubernur Kalimantan Tengah dalam diskusi yang bertema ‘Budaya Pancasila, Gotong Royong untuk Indonesia yang Maju’ itu. Selepas Indonesia menyatakan diri lepas dari penjajahan, unsur terbentuknya negara semakin lengkap ketika UUD Tahun 1945 disahkan sebagai konstitusi.

Semua proses yang terjadi menurut Teras Narang tidak terjadi begitu saja namun direncanakan secara terstruktur, sistemastis, dan massif. “Meski pelaku sejarahnya berbeda”, ucapnya. Dikatakan kalau dilihat dari Pancasila dan UUD-nya, negara ini didirikan dengan tidak main-main. “Kalau kita bicara mengenai bangsa dan negara maka tak bisa dilepaskan dengan soal sejarah dan budayanya”, paparnya.

Ditegaskan oleh pria yang pernah menjadi politisi PDIP, selepas Indonesia merdeka kita tak bisa duduk-duduk saja. Semua harus berjuang untuk mengisi kemerdekaan sehingga bangsa ini bisa lebih maju. “Kita bisa maju bila dilandasi dengan kebersamaan”, ujarnya.

Sebagai pria berdarah Dayak, Teras Narang mengandaikan Indonesia seperti ‘Huma Bentang’. Rumah tradisional suku Dayak di mana dihuni oleh puluhan kepala keluarga di mana mereka memiliki beragam latar belakang. “Namun mereka bisa hidup rukun, damai, dan saling menghormati satu dengan yang lain”, ungkapnya. “Mereka menghargai perbedaan”, tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, anggota MPR dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengatakan semua harus menegaskan budaya Pancasila merupakan nilai-nilai luhur bangsa yang tetap relevan. “Jangan dikatakan tidak cocok atau di luar konteks”, ucapnya. Diakui pada masa Orde Baru penanaman Pancasila di masyarakat dilakukan secara homogen dan militeristik sehingga dalam era reformasi ada penolakan. Kekosongan penanaman Pancasila di era reformasi bertambah mengkhawatirkan ketika budaya global menggerus budaya gotong royong masyarakat.

Diakui upaya untuk menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah masyarakat semakin baik sehingga bangsa ini menuju titik seimbang. “Hal demikian tercipta dengan tetap mendasarkan pada Pancasila”, ucapnya. Kehidupan yang semakin baik itu dicontohkan oleh Mulyanto dengan cara pemilihan pimpinan MPR lewat musyawarah dan mufakat. “Ini merupakan teladan yang baik dari para pemimpin”, ungkapnya. Bila pemimpin demikian maka rakyat akan mengikuti contoh yang baik. Mulyanto berharap bangsa ini meski berbeda-beda namun tetap satu rumah, bersatu. “Pancasila tetap relevan”, tegasnya.

Wakil Ketua MPR, Jazilul Fawaid, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu mengungkapkan, menemukan 5 sila dalam Pancasila tidak mudah. “Sehingga Pancasila selalu relevan”, ujarnya. Goyangan atau ancaman terhadap Pancasila menurut pria asal Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, bukan kali ini saja namun sudah ada sejak Pancasila dilahirkan. “Tetapi Pancasila selalu menang”, tuturnya.

Diakui budaya yang hidup di tengah masyarakat selalu berubah. Perubahan budaya salah satu faktornya adalah dampak teknologi informasi. “Sekarang semua bisa dilakukan lewat aplikasi”, paparnya. Teknologi yang sarat aplikasi ini menjadi budaya anak-anak muda. Nah, hadirnya teknologi yang semakin mudah dan canggih di satu sisi menguntungkan namun di sisi yang lain sangat mengkhawatirkan. Menurut Jazilul, kelompok anti Pancasila menggunakan teknologi untuk menyebarkan paham yang bertentangan. “Mari kita gunakan teknologi untuk mensosialisasikan Pancasila”, harapnya. Kemajuan teknologi menurut mantan aktivis PMII itu sebagai tantangan masa depan.

Tantangan terhadap Pancasila menurutnya tak hanya dari sisi teknologi. ‘Money politic’ diakui juga sebagai tantangan. “Ini sangat berbahaya”, akunya. ‘Money politic’ inilah yang menurutnya bisa mengubah budaya masyarakat. Untuk itu dirinya merasa senang ketika pemilihan pimpinan MPR dilakukan lewat musyawarah. “Ini suatu hal yang positif”, paparnya. Dalam soal Sosialisasi Empat Pilar, Jazilul mengatakan hal demikian tak bisa dilakukan sendiri oleh MPR namun harus mendapat dukungan semua pihak. “Sosialisasi harus dilakukan sesuai dengan perkembangan jaman”, tegasnya. “Sehingga sosialisasi tak monoton”, tambahnya.