image

MPR : Hoax Bisa Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat

Senin, 25 Februari 2019 19:31 WIB

Anggota MPR dari Fraksi PKB Daniel Johan menyebutkan maraknya hoax bisa mempengaruhi psikologi masyarakat pemilih. Akibat hoax, masyarakat pemilih menjadi khawatir dan apatis. Ini bisa menurunkan partisipasi politik dalam Pemilu serentak 2019.

“Hoax yang mempertentangkan dan memecah-belah masyarakat membuat pemiilh apatis terhadap politik,” kata Daniel Johan dalam Diskusi Empat Pilar MPR bertema “Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat” di Media Center, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (25/2/2019). Diskusi kerjasama MPR dengan pengurus Koordinatoriat Wartawan Parlemen ini juga menghadirkan narasumber pakar komunikasi politik Lely Arrianie.

Daniel mengawali diskusi dengan menyatakan bahwa Pemilu adalah pesta demokrasi yang biasa dan rutin. Seharusnya pesta demokrasi ini disambut dengan riang. “Pileg dan Pilpres merupakan momentum bagi rakyat untuk memilih pemimpin terbaik yang bisa membawa perubahan Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera,” ujarnya.

Namun, pesta demokrasi itu membutuhkan partisipasi politik masyarakat. Dalam konteks Pemilu 2019 ini, Daniel melihat ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, maraknya hoax di masyarakat khususnya melalui media sosial. “Kita khawatir dengan hoax yang menimbulkan pertentangan dan memecah belah masyarakat. Hoax ini akan mempengaruhi psikologis masyarakat. Akhirnya masyarakat menjadi khawatir dan apatis,” jelasnya.

Karena itu, Daniel meminta semua pihak untuk mengantisipasi maraknya hoax ini. “Saya rasa peran media menjadi sangat penting untuk mengklarifikasi setiap hoax. Hoax yang membenturkan dan memecah belah masyarakat membuat orang menjadi apatis terhadap politik. Ini akan merugikan kandidat calon presiden yang berkompetisi,” tuturnya.

Kedua, hari pencoblosan yang ditetapkan sebagai hari libur. Menurut Daniel, dengan ditetapkannya hari pencoblosan menjadi hari libur, masyarakat melihat ada libur panjang. “Ini menjadi tantangan tersendiri. Jangan sampai masyarakat justru mengambil libur panjang daripada berpartisipasi ke TPS,” katanya.

Daniel juga mengkhawatirkan kalangan pemilih pemula yang lebih memilih berlibur dibanding pergi ke TPS. “Pemilih milenial adalah pemilih terbesar dalam pemilu ini. Mereka biasanya tidak terlalu tertarik dengan dunia politik. Mungkin mereka sudah mengagendakan mengisi libur panjang itu. Ini menjadi persoalan tersendiri yang harus dijawab KPU sebagai penyelenggara pemilu dan pemerintah,” paparnya.

Partai politik, lanjut Daniel, harus mendorong para caleg turun langsung ke masyarakat. Dengan menyapa langsung masyarakat, diharapkan bisa mendorong partisipasi politik masyarakat. “Masyarakat harus menyadari bahwa Pileg dan Pilpres sangat penting. Pileg sangat penting karena menentukan peran partai politik di parlemen dalam ikut menentukan arah pembangunan,” ujarnya.

Sementara itu pakar komunikasi politik Lely Arrianie menilai partisipasi politik masyarakat sebenarnya cukup tinggi, namun partisipasi politik itu bersifat semu, yaitu partisipasi di media sosial. Ini sudah terjadi sejak Pemilu 2014. “Di media sosial begitu bergairah seolah-olah partisipasi politik tinggi, namun ketika hari pencoblosan malah tidak berpartisipasi. Ini partisipasi politik yang semu,” katanya.

Lely menyebutkan ada empat media politik untuk meningkatkan partisipasi politik, yaitu interpersonal, organisasi, media massa, media sosial, dan kelompok kepentingan. “Pada masa Susilo Bambang Yudhoyono ada Majelis Zikir. Ini adalah kelompok kepentingan untuk mendorong partisipasi politik. Partisipasi politik juga bisa melalui organisasi (partai politik),” jelasnya.