image

MPR: Pro dan Kontra Mengenai Amandemen Merupakan Hal yang Sehat

Jumat, 06 Desember 2019 18:02 WIB

  
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah menyebut jumlah pimpinan MPR Periode 2019-2024, 10 orang, merupakan pimpinan terbanyak dalam sejarah MPR di Indonesia. “Dulu pada masa MPR di bawah pimpinan Pak Amien Rais, jumlah pimpinan MPR ada Sembilan orang”, ujar Ahmad Basarah. Dari sepuluh pimpinan MPR yang ada merupakan representasi seluruh kekuatan partai politik yang lolos dalam parlement threshold ditambah dengan kelompok DPD.  “Tak ada dikotomi partai besar dan kecil”, papar Ketua Persatuan Alumni GMNI itu dalam ‘Diskusi Empat Pilar MPR’, Media Center, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, 6 Desember 2019.
 
Pimpinan MPR sekarang menurut politisi dari PDIP itu merupakan tokoh-tokoh yang sudah mempunyai pengalaman dalam memimpin MPR maupun sebagai menteri. “Bapak Hidayat Nur Wahid Ketua MPR Periode 2004-2009 dan Bapak Zulkifli Hasan Ketua MPR Periode 2014-2019”, ujarnya dalam diskusi dengan tema ‘Pelaksanaan Rekomendasi MPR 2014-2019’. “Bapak Zulkifli Hasan, Bapak Syarifuddin Hasan, dan Bapak Fadel Muhammad juga pernah menjadi menteri dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono”, tambahnya.
 
Komposisi yang demikian diakui sebagai modal dasar bagi MPR dalam melaksanakan tugas sebab mereka bukan hanya politisi namun juga negarawan. “Sehingga produk lembaga ini bukan untuk kepentingan kelompok dan golongan namun demi kepentingan bangsa dan negara”, tegasnya.
 
Lembaga ini mempunyai fungsi strategis seperti yang tertera dalam UUD NRI Tahun 1945. Lembaga ini juga sebagai perajut persatuan dan kesatuan bangsa. Diungkapkan beberapa waktu yang lalu, pimpinan MPR melakukan roadshow ke mantan Presiden Megawati dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono; Presiden Joko Widodo, Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Wakil Presiden Maruf Amien, serta sudah dan akan bersilaturahmi ke berbagai organisasi ummat beragama, partai politik, serta ke kelompok masyarakat lainnya. “Ini Safari kebangsaan”, katanya.
 
Hal demikian dilakukan untuk menyerap aspirasi masyarakat terkait Rekomendasi MPR periode sebelumnya untuk menghadirkan haluan negara ala GBHN melalui amandemen terbatas. “Kami mendiskusikan diskursus mengenai itu dengan pihak-pihak yang telah dan akan kami kunjungi”, ungkap Ahmad Basarah.
 
Keinginan melakukan amandemen UUD disadari menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. “Masalah amandemen melebar hingga pada soal jabatan Presiden 3 periode hingga Presiden dipilih kembali oleh MPR”, paparnya. Sikap pro dan kontra, serta melebarnya masalah menurut Ahmad Basarah disebut sebagai hal yang sehat dalam negara demokrasi. Lembaga ini dikatakan mempunyai tanggung jawab dalam membangun peradaban demokrasi. “Sikap pro dan kontra harus kita akui lebih baik daripada berita kekerasan yang saling mempertentangkan”, tuturnya.
 
Pendapat-pendapat yang ada selanjutnya akan direspon dan dikelola untuk dicarikan jalan terbaik. Terkait Rekomendasi MPR periode sebelumnya, diakui ada beberapa sikap fraksi di MPR terkait menghidupkan kembali pola pembangunan ala GBHN. Ada yang menghendaki dengan melakukan amandemen terbatas, ada pula cukup melalui undang-undang. Ahmad Basarah tidak ingin melihat perbedaan yang ada. Dirinya cenderung melihat persamaan. “Persamaannya semua ingin adanya haluan negara”, ucapnya.
 
Meski demikian dirinya menilai bila arah pembangunan ditentukan oleh undang-undang, UU yang sudah ada diakui memiliki banyak kelemahan seperti terlalu eksekutif sentris, pembangunan hanya dibebankan kepada pemerintah. “Padahal pembangunan perlu dilakukan oleh lembaga negara yang lain”, ungkapnya. Tak hanya itu, dalam undang-undang yang ada tak memberi sanksi bagi pihak yang tidak menjalankan.
 
Untuk itu perlu adanya pola pembangunan yang bisa mengikat dan menjadi panduan bagi semua. “Presiden boleh memiliki kreasi dan inovasi dalam pembangunan namun ia tidak boleh menginterupsi GBHN sebagai panduan pembangunan nasional”, tuturnya. “Pembangunan berkesinambungan bukan ditentukan oleh 3 periode jabatan Presiden namun oleh program yang berkesinambungan”, tegasnya.
 
Wakil Ketua MPR Syarifuddin Hasan dalam kesempatan yang sama mengatakan membahas keinginan menghidupkan kembali pola pembangunan ala GBHN, pimpinan MPR secara bijaksana memutuskan melakukan pendalaman dengan membuka ruang yang luas kepada siapa saja. “Kita terbuka menerima saran dan masukan dari masyarakat”, ujarnya. Bagi Syarifuddin Hasan hal demikian penting sebab amandemen yang dilakukan akan berpengaruh pada masa depan bangsa.
 
Amandemen UUD menurut Syarifuddin Hasan tidak tabu. “Kalau belum sempurna kita sempurnakan”, ucapnya. Meski demikian fraksinya mempunyai pandangan bahwa amandemen belum perlu dilakukan. Alasannya pola pembangunan diatur lewat undang-undang sudah cukup. “Segala implementasi masyarakat sudah tertuang dalam undang-undang”, ungkapnya.
 
Untuk itu masalah rekomendasi yang ada perlu dikaji lebih mendalam. Syarifuddin Hasan membenarkan apa yang dikatakan Ahmad Basarah bahwa pimpinan MPR telah melakukan roadshow. “Hal demikian harus dilakukan secara sinergi dan parallel”, tegasnya. “Saya telah melakukan roadshow di berbagai perguruan tinggi yang merupakan gudangnya para teknorat”, ungkapnya. Dari perjalanan ke kampus-kampus, ada yang mengatakan perlu melakukan amandemen, ada pula yang menyebut cukup lewat aturan dari turunan UUD. Masukan dari masyarakat menurutnya tak boleh salah saat diambil keputusannya. “Kita harus mengutamakan rakyat”, tegasnya.
 
Wakil Ketua DPD, Nono Sampono, sebagai pembicara terakhir dalam acara itu menyebut apa yang dikatakan oleh dua pembicara sebelumnya sudah merepresentasikan kekuatan partai politik yang ada. Keinginan masyarakat untuk menghidupkan kembali pola pembangunan ala GBHN menurut Nono sudah diformalkan oleh MPR.
 
Dirinya menyebut ada 4 wacana terkait keinginan menghidupkan kembali GBHN, pertama, cukup lewat undang-undang. Kedua, melalui Ketetapan MPR. Ketiga, amandemen terbatas. Keempat, kembali ke UUD Tahun 1945. “Semua hal diserap oleh MPR”, paparnya. Dirinya menyebut lebih memilih cara lewat amandemen.