image

Polemik RUU HIP, HNW: Baleg DPR Harus Pertimbangkan Penolakan Publik

Selasa, 16 Juni 2020 14:43 WIB

 

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid menyebut, penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang dilakukan secara kontroversial, mendapat penyikapan kritis, bahkan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat. Karena itu sudah semestinya jika Badan Legislasi (Baleg) DPR, memperhatikan secara seksama tanggapan yang datang dari berbagai masyarakat.

“Terdapat catatan saat rapat di Baleg agar TAP MPRS no XXV/1966 dimasukkan dalam konsideran, dan agar mencabut pasal yang sebutkan trisila, ekasila dan ketuhanan yang berkebudayaan dan lain-lainnya, ternyata tidak diakomodasi, dan itu menjadi catatan terhadap RUU HIP tersebut,” kata Hidayat melalui siaran pers di Jakarta, Senin (15/6).

Belakangan memang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku pengusul awal RUU itu akhirnya berubah dan setuju memasukkan TAP MPRS No XXV/1996 yang mengatur larangan komunisme sebagai konsiderans dan menghapus Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) yang memunculkan kembali istilah Pancasila Trisila, Ekasila dan Ketuhanan yang berkebudayaan.

Setelah PDI Perjuanhan berubah dan setuju dimasukkannya TAP MPRS No XXV/1966 soal PKI sebagai Partai terlarang, dan larangan penyebaran dan pengajaran komunisme ke dalam konsideran mengingat RUU HIP, kata Hidayat maka semua fraksi di DPR secara terbuka sepakat untuk masih tetap berlakunya ketentuan hukum bahwa PKI adalah Partai terlarang, dan juga larangan penyebaran serta pengajaran komunisme, marxisme dan leninisme.

“Setelah PDI Perjuanhan menerima masuknya TAP MPRS noXXV/1966 dalam konsideran RUU HIP, maka tidak ada lagi Fraksi di DPR yang menolak dimasukkannya TAP MPRS no XXV/1966 ke dalam RUU HIP. Tetapi Publik sudah menyikapi sangat kritis thd RUU HIP ini, bukan lagi hanya soal tak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS no XXV/1966, juga “kecolongan” penyebutan trisila dan ekasila, tetapi masalah-masalah dlm RUU HIP ini mereka dapatkan tersebar di beberapa pasal, yakni seperti yang ada Pasal 4, 5, 6 dan 8 RUU itu,” kata Hidayat menambahkan.

Menurut HNW, Baleg DPR RI harus memperhatikan suara Rakyat ini. Sehingga kalaupun RUU HIP itu tetap akan dibahas maka perlu ada perombakan yang mendasar dalam batang tubuh maupun naskah akademiknya. “Larangan Komunisme serta Pancasila yang bukan Trisila atau Ekasila itu seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsiderans, tetapi juga benar-benar tergambar dalam norma batang tubuh RUU itu,” ujarnya.

Hal ini sejalan dengan penolakan atau kritik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Purnawirawan TNI/Polri dan berbagai Ormas atau kelompok2 masyarakat yang menolak RUU itu.

“Selain MUI, NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, Para Pakar, ICMI, bahkan Purnawirawan TNI/Polri dan kelompok-kelompok masyarakat lain juga menolak secara terbuka RUU HIP ini, antara lain karena tidak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS no XXV/1966. TAP MPRS yg masih berlaku, relevan dan diyakini akan membentengi Pancasila dari ideologi yg bertentangan dg Pancasila dan sudah 2 kali melakukan pemberontakan terhadap Negara Indonesia. Serta adanya pengaburan dengan penyebutan Pancasila yang menjadi Trisila dan Ekasila. Juga catatan kritis lainnya yang menilai bahwa RUU HIP seperti ini justru mendowngrade Pancasila yang sebenarnya, yaitu Pancasila 18/8/1945 yang ada dlm Pembukaan UUDNRI 1945. Itu semua penting didengarkan dan dipertimbangkan olh Baleg DPR RI,” tegasnya.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai, ketika FPDIP sebagai pengusul awal RUU tersebut berubah sikap dengan menerima TAP MPRS XXV/1966 dan mengusulkan ideologi-ideologi lainnya, serta penghapusan pasal 7 soal Trisila dan Ekasila, maka rasionalnya, naskah akademik dan draft RUU ini juga perlu dibuat ulang, dan diubah secara mendasar. Karena terjadinya perubahan yang mendasar pada konsideransnya, akan berimplikasi kepada landasan yuridis dan landasan sosiologis akibat reaksi penolakan dari banyak pihak, maka sebaiknya RUU HIP ini ditarik terlebih dahulu oleh Baleg dan tidak dilanjutkan pembahasannya.

“Perlu disiapkan naskah akademik dan diperbaiki kontennya sesuai dengan kebenaran sejarah dan sesuai juga dengan kritik serta saran dari Rakyat, Pakar, Purnawirawan TNI/Polri, Ormas,” kata Hidayat lagi.

HNW menjelaskan dengan mempertimbangkan kondisi sosial politik dan penolakan masyarakat, saat Baleg merevisi naskah akademik, ini maka pengusul dari Baleg juga dapat mempertimbangkan ulang apakah RUU ini memang perlu dipaksakan untuk dilanjutkan dibahas dan disahkan. Atau malah dihentikan saja. Karena penjabaran dan haluan ideologi Pancasila sudah disepakati dan itu terdapat dalam Pembukaan UUD dan dalam Bab/pasal/ayat2 UUDNRI 1945.

Hidayat mengingatkan ada problem ketatanegaraan apabila RUU HIP ini dipaksakan untuk dilanjutkan dan disahkan. “Pancasila adalah grundnorm (norma dasar) yang dimuat dalam Pembukaan UUD 1945. Nilainya sebagai norma dasar memang bersifat umum tapi yg disepakati oleh para Founding Fathers. Jangan lah Pancasila didowngrade melalui UU kontroversial seperti ini. Tetapi apabila mau dibuat penjabaran lagi, maka seharusnya dilakukan di Batang Tubuh UUD 1945, melalui amandemen terhadap UUD, bukan diatur dalam UU apalagi yang kontroversial seperti RUU HIP ini.

“Apabila nilai-nilai Pancasila itu diatur dalam UU khusus seperti RUU HIP, maka bagaimana bila nanti UU itu diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini seakan lompat, dari Pancasila dalam pembukaan ke pengaturan dalam UU. Itu lah mengapa masyarakat menolak RUU HIP ini, yang selain kesannya melompat dari Pembukaan ke UU dengan melangkahi UUD, RUU HIP ini malah menambah kegaduhan publik, di saat Rakyat dan Pemerintah lagi sangat direpotkan dengan bencana kesehatan nasional; Covid-19. Mestinya yang hadir adalah ketentuan UU yang kuatkan pengamalan Pancasila, agar berkontribusi atasi covid-19 dan dampak-dampaknya,” pungkas HNW.