image

Etika Politik Jadi Pembahasan Seru Dalam Diskusi Empat Pilar MPR

Senin, 11 Maret 2019 14:22 WIB

Jakarta – Etika banyak dilihat dan dinarasikan sebagai sosok penengah, penawar, pengingat atau sosok bijak dalam ranah perdebatan, diskusi, perbuatan, perilaku di tataran masyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan, saking mulianya ‘etika’ selalu diposisikan sebagai pengawal dari dua sisi argumentasi yang keras dan tak berujung.

Ada fenomena menarik saat ini, ketika etika disandingkan dengan politik ternyata ada dua arus besar yang saling bertolak belakang. Satu sisi merasakan etika berpolitik sangat penting untuk memunculkan praktek berdemokrasi yang baik sekaligus menjadi pembelajaran politik yang baik kepada masyarakat.

Namun, di sisi yang lain muncul ketidakcocokan nurani melihat implementasi etika berpolitik sekarang ini seperti fenomena mahar politik, money politic, seribu janji-janji muluk yang terkesan tidak bernalar, saling menjatuhkan, saling fitnah, saling melemparkan kabar-kabar hoax dan lain sebagainya.

Sosok etika politik tersebut menjadi pembahasan serius dan seru oleh tiga narasumber anggota MPR RI dari Kelompok DPD RI Akhmad Muqowam, anggota Fraksi Nasdem MPR RI Johnny G. Plate dan Pakar Psikologi Politik Dr. Irfan Aulia dalam Diskusi Empat Pilar MPR RI kerjasama Biro Humas Sekretariat Jenderal MPR RI dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen, yang dihadiri para awak media massa cetak, elektronik dan online, di Media Centre Parlemen, Gedung Nusantara III, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Senin (11/3/2019).

Dalam pemaparan awalnya, Johnny G. Plate memulai dengan pertanyaan besar apakah masih ada etika dalam perpolitikan Indonesia saat ini. Pertanyaan menggelitik tersebut, menurut Johnny, harus dijawab dengan baik terutama oleh para pelaku dan praktisi politik sebagai pembelajaran juga kepada dirinya sendiri dan masyarakat pada umumnya.

“Secara tegas saya katakan, harus. Dalam berpolitik harus beretika, etika dan politik harus seiring sejalan dan saling melengkapi. Secara normatif dalam perpolitikan kita, etika politik kita harus mengacu, berbasis dan berlandaskan kepada ideologi bangsa kita Pancasila dan tiga konsensus lainnya yakni Kebangsaan NKRI, Kemajemukan dan Konstitusi negara kita,” ujarnya.

Dalam praktik politik di lapangan khususnya Pilpres 2019, lanjut Johnny, ada beberapa pertanyaan juga terkait etika, pertama, ruang publik bangsa Indonesia diisi oleh etika apa. Apakah beretika atau tidak. Johnny menegaskan, di ruang publik terutama terkait Pilpres 2019 ada beberapa kekhilafan etika yang luar biasa besarnya yakni, pertama ada fenomena dan upaya-upaya mengalihkan isu kontestasi pilpres menjadi ajang evaluasi negatif kinerja salah satu capres menjadi keunggulan capres lainnya.

Kedua, dalam kontestasi pilpres ada upaya-upaya penggiringan dan pembenturan antara capres dengan kabar-kabar hoax serta fitnah. Hal ini, menurut Johnny harus disadari betul-betul bangsa Indonesia. Konstestasi pilpres semestinya diisi dengan adu gagasan, adu program, adu visi dan misi dengan tetap menjaga di koridornya yakni persatuan dan kesatuan bangsa.

“Untuk itu peran seluruh elemen masyarakat sangat diperlukan untuk menjaga etika politik kita tetap berjalan di koridor tersebut. Salah satu elemen bangsa tersebut adalah pers nasional yang merupakan pilar demokratis yang penting dalam menjaga kualitas demokrasi kita serta diharapkan mampu memastikan demokrasi kita atau politik kita berada di dalam aturan dan batasan-batasan etika,” paparnya.

Dalam kesempatan yang sama Akhmad Muqowam mengungkapkan, dalam berdemokrasi etika politik terutama dalam konteks kontestasi pileg dan pilpres, semuanya yang terlibat dalam proses demokrasi baik parpolnya, calegnya, capresnya, pemilihnya dan seluruh masyarakat harus beretika dan menjalankan etika tersebut. Jika semua beretika maka akan muncul kedamaian.

“Namun, memang faktanya, baik dalam kontestasi pileg dan pilpres terjadi proses ‘dis’ yang sangat luar biasa. Tapi, saya tegaskan masih ada harapan. Artinya, bangsa ini memiliki agama, Pancasila, nilai dan budaya. Yang terpenting, yang harus sama-sama di pahami adalah etika ada dalam ruh dari ideologi yang kita sepakati bersama yakni Pancasila, saripati nilai-nilai dalam sila-sila Pancasila itu harus menjadi etika kita dalam berpolitik,” tandasnya.

Berbicara soal etika politik Pakar Psikologi Politik Irfan Aulia menjabarkan terutama terkait pada kontestasi pilpres dan pileg 2019. Menurut Irfan masyarakat pemilih, memilih karena pertimbangan tiga hal utama yakni, memilih karena sama identitasnya, memilih karena valuenya sama, dan memilih karena emosinya sama.

“Lalu mengapa ada konflik saat pemilihan, ini disebabkan karena differensiasinya ‘gak jelas. Hal ini terjadi pada kontestasi pilpres antara capres 01 dan 02. Pemilih melihat dari sisi identitas dua capres itu sama, sama-sama orang Jawa, sama-sama pernah menjadi birokrat. Dari sisi value, sama juga, sama-sama Pancasila. Tapi dari sisi emosi, ini yang beda dan ini yang dimainkan, maka banyaklah bermunculan serangan hoax-hoax,” ungkapnya.

Memilih karena emosi, lanjut Irfan, adalah sisi yang paling berbahaya sebab sangat berpotensi memecah belah. Konflik-konflik etika tidak akan pernah hadir dalam tataran kesamaan identitas dan value karena semuanya, peserta kontestasi bicaranya pasti sama yakni Pancasila dan NKRI. Tapi, kalau bicara emosi, konflik etika akan hadir. Politic disengagement juga akan hadir yakni masyarakat tidak lagi merasa memiliki politik, politik menjadi hal lain yang tidak berhubungan dengan kebutuhannya sehari-hari. Political distrust akan sangat kental.

“Lalu apa yang harus dilakukan. Kita semua harus memperhatikan dan melakukan upaya-upaya mengelola dan mengedukasi emosi rakyat yang berbeda-beda itu menjadi sama yakni menebarkan sense of hope, memunculkan harapan yang sama akan sejahteranya negeri ini. Ini sangat penting, sebab jika politic disengagement yang hadir, maka kita akan kehilangan negara ini akibat political distrust yang sangat tinggi,” tandasnya.