image

Arsul Sani : Amandemen Kelima Nyaris Terjadi Jika Tidak Ada Tuntutan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Kamis, 17 November 2022 08:20 WIB

Jakarta,- Wacana  kembalinya utusan golongan ke dalam sistem pemerintahan Indonesia, sudah datang sejak lama.   Sejak  tiga tahun terakhir, usulan  tersebut semakin sering disuarakan. Berbagai kelompok masyarakat datang ke MPR untuk menyampaikan aspirasinya, terkait urgensi kembalinya utusan golongan ke dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Berbagai kelompok masyarakat yang menginginkan kembalinya utusan golongan meminta pimpinan MPR menguji kemungkinan diadakannya amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena jalan yang bisa ditempuh untuk mengembalikan utusan golongan ke dalam sistem pemerintahan, adalah perubahan terbatas UUD NRI Tahun 1945

“Selama tiga tahun terakhir menjadi Wakil Ketua MPR, saya menerima usulan berbagai kelompok masyarakat untuk menghidupkan kembali utusan golong,   Aspirasi tersebut sejalan dengan rekomendasi MPR periode 2014-2019 agar pimpinan periode ini melakukan kajian tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang dituangkan menggunakan dasar hukum Ketetapan MPR. Agar rekomendasi tersebut terlaksana, maka dipentingkan untuk mengamandemen UUD,” kata Wakil Ketua MPR RI Dr. H. Arsul Sani, SH., M. Si., Pr. M.,

Pernyataan itu disampaikan Arsul saat menjadi pembicara  pada Diskusi Empat Pilar MPR RI. Acara tersebut berlangsung di Media Center MPR DPR, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (16/11/2022). Selain Arsul, diskusi yang mengambil tema Urgensi Kehadiran Utusan Golongan, itu juga menghadirkan dua pembicara lain. Yakni   Anggota MPR yang juga  Ketua Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, SH., M.H.  Serta  Pakar  Hukum  Tata  Negara  Prof. Dr. John Pieris, SH., MH., M.S.

Wacana  mengubah UUD NRI Tahun 1945,   yang sudah dibahas itu kata Arsul urung dilakukan, menyusul munculnya keinginan sebagian kelompok yang hendak   mengubah Pasal 7 UUD NRI, menyangkut jabatan presiden tiga periode.  Dan juga keinginan untuk menunda pelaksanaan pemilu tahun 2024.

“Gagasan perubahan konstitusi, itu nyaris terjadi.    Karena Ketua DPD juga   ingin mengubah UUD  agar ada peluang presiden independen. Tetapi   wacana itu batal karena pimpinan MPR berkeyakinan mengubah UUD sebelum pemilu bisa membuka kotak pandora, dan memantik terjadinya amandemen terhadap pasal-pasal yang lain,” ungkap Arsul.

Kalaupun amandemen kelima akan dilaksanakan, bagi  Arsul waktu yang tepat adalah bulan Maret  2024 atau  paska pemilu.  Saat  itu, para calon sudah mengetahui hasil pemilu. Sementara DPR lama masih memegang jabatan hingga bulan Oktober.

“Pertanyaannya adalah, apakah waktu yang tersedia   cukup     untuk melaksanakan amandemen. Apalagi ada keinginan, amandemen kali ini harus bisa menyelesaikan segala masalah yang terus mengganjal.   Seperti UU Pemilu dan Partai Politik menyangkut ambang batas presiden dan parlemen,” pungkas politisi PPP itu.


Era Reformasi

Sementara    Ketua Forum Aspirasi Konstitusi MPR RI Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, SH., M.H., memastikan setelah 24 tahun reformasi,  sudah saatnya   bangsa Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh. Termasuk evaluasi terhadap  konstitusi dan tantangan-tantangan terbaru yang muncul saat ini.

Saat ini, banyak sekali tantangan baru yang harus diperhitungkan.  Apalagi setelah 24 tahun konstitusi  hasil reformasi  diterapkan, dihubungkan dengan peta politik,  sosial dan ekonomi dunia yang berubah sangat pesat.

“Sebagai tuan rumah G20,  kita menjadi kutub perhatian dunia.  Dengan jumlah    penduduk  menempati urutan keempat, sudah sepatutnya   secara kualitatatif  kita juga bisa menjadi negara keempat terkuat di dunia,” kata Jimly lagi.

Karena itu, MPR perlu membentuk Forum Aspirasi Konstitusi, sebagai penjelmaan MPR rumah musyawarah bagi seluruh rakyat.  Forum Aspirasi Konstitusi berguna untuk menampung berbagai pemikiran dan pendapat, bukan membiarkan pemikiran itu bertarung secara bebas di luar.

“Forum ini juga menjadi kaukus utusan golongan, karena sesungguhnya sebagian anggota MPR, adalah utusan golongan yang maju lewat partai. Mereka ini adalah penjelmaan seluruh rakyat,” kata Jimly lagi. 

Pandangan  ini menurut Jimly sesuai dengan konsep perwakilan yang dilahirkan  para pendiri bangsa, saat membuat konstitusi. Yaitu, perwakilan politik atau DPR (partai), utusan daerah dan utusan golongan. Keterwakilan politik melalui partai tidak   mampu merefleksikan seluruh rakyat karena jumlahnya yang sangat besar, sehingga dibutuhkan perwakilan daerah dan utusan golongan.  

Pendapat serupa disampaikan Prof. Dr. John Pieris, SH., MH., M.S. Menurutnya, seluruh dunia mengenal adanya tiga sistem perwakilan. Yaitu, perwakilan politik melalui parpol, perwakilan territorial melalui kedaerahan atau negara bagian. Dan perwakilan fungsional melalui golongan-golongan penduduk. Oleh para   pendiri bangsa, ketiga sistem perwakilan, itu diadopsi menjadi tiga sistem perwakilan dengan pertimbangan bahwa keragaman masyarakat tidak bisa hanya diwakili oleh partai politik dan daerah saja. Sehingga dibutuhkan sistem perwakilan utusan golongan tersendiri.

“Golongan penduduk berdasarkan adat istiadat, suku bangsa,  agama bahkan ras, memerlukan perwakilannya tersendiri. Jadi   kita memang membutuhkan kembalinya perwakilan utusan golongan, masuk ke dalam sistem pemerintahan,” kata John Pieris.


Anggota Terkait :

Dr. H. ARSUL SANI , S.H, M.Si. Pr.M