image

Buka Ruang Diskusi untuk Jawab Pro Kontra KUHP di Masyarakat

Rabu, 14 Desember 2022 18:57 WIB

Berbagai pandangan dan masukan masyarakat terkait hak azasi manusia (HAM) harus menjadi landasan dalam upaya pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Pro dan kontra di ranah publik terkait lahirnya KUHP yang baru harus direspon dengan berbagai penjelasan yang bisa dipahami masyarakat dengan membuka ruang diskusi seluas-luasnya," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Diskursus HAM dalam Pembaruan KUHP yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (14/12).

Dalam diskusi yang dimoderatori Dr. Atang Irawan, S.H., M.Hum (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu hadir Taufik Basari, S.H., S.Hum., LL.M (Anggota Komisi III DPR RI - Ketua Fraksi NasDem MPR RI), Dr. Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M (Wakil Ketua Komnas HAM Republik Indonesia), Prof. Dr. Nur Basuki Minarno, S.H., M.Hum (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga) dan Dr. Albert Aries, S.H., M.H. (Juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Fatia Maulidiyanti, S.IP (Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Muhammad Isnur (Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia/YLBHI) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, dengan KUHP yang saat ini masih bersandar pada hukum di masa kolonial, pembaruan dasar hukum pidana adalah sebuah keharusan untuk menyesuaikan dengan kondisi negara yang sudah jauh berbeda.

Dalam proses pembangunan nasional, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, penyesuaian berbagai  instrumen hukum dalam upaya menjawab kebutuhan zaman mesti meletakkan paradigma  keberagaman dalam setiap asumsi dan pertimbangan pengambilan keputusan.

Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu berharap masukan dari para narasumber dalam diskusi kali ini dapat memperkaya persepsi dan pemahaman terkait  diskursus HAM dalam proses pembaruan KUHP.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu menegaskan, perkembangan zaman menuntut adaptasi terkait kebutuhan perlindungan,  aturan dan hukum sehingga sangat penting untuk mewujudkan hukum pidana  nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Wakil Ketua Komnas HAM Republik Indonesia, Abdul Haris Semendawai menilai lahirnya UU KUHP yang baru disahkan beberapa waktu lalu adalah sebuah keberhasilan dalam upaya memperbaharui KUHP, yang sudah berusia lebih dari 200 tahun, sehingga perlu diapresiasi.

Apalagi, ujar Abdul Haris, tujuan perubahan KUHP kali ini dalam rangka menghormati dan menjunjung tinggi HAM.

Lahirnya KUHP yang baru ini, tambah dia, juga dalam upaya menyesuaikan kondisi yang ada saat ini, seperti ada sejumlah tindak pidana yang diatur dalam KUHP baru setelah negara meratifikasi beberapa konvensi di dunia yang tidak terakomodasi pada KUHP yang lama.

Pada KUHP yang baru ini, ujar Abdul Haris, juga sudah diakomodasi  tindak pidana terkait antidiskriminasi.

Terkait sanksi pidana, jelasnya, dalam KUHP baru ini tidak hanya mengatur tindak pidana penjara dan denda, namun juga mengakomodasi sanksi sosial yang bisa mengurangi kepadatan dalam lembaga pemasyarakatan.

Bahkan, tegasnya, hukuman mati dalam KUHP yang baru ini hanya merupakan  sanksi yang bersifat khusus, tidak seperti pada KUHP yang lama hukuman mati merupakan sanksi pokok.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno berpendapat kekhawatiran beberapa negara terkait kebebasan dasar dan HAM yang diatur dalam KUHP yang baru sangat tidak beralasan.

Karena dasar pengaturannya, Nur Basuki, mengacu pada konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945, bukan konstitusi negara mereka.

Juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries mengaku tidak mudah menyusun KUHP di negeri yang multi etnis, multi religi dan budaya.

Diakui Albert, produk KUHP yang baru ini belum sempurna dan mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam menyosialisasikan.

Menurut Albert, KUHP yang baru disahkan DPR ini merupakan titik keseimbangan yang bisa dicapai dalam pembuatan landasan hukum pidana di tanah air.

"Dalam prosesnya banyak dilakukan reposisi, reformulasi, bahkan penghapusan untuk mencapai keseimbangan itu," ujarnya.

Setiap ada masukan dan aspirasi terkait KUHP yang baru, tegas Albert, tim selalu membahasnya dengan tetap mengacu pada Pancasila, UUD 1945 dan putusan-putusan MK terkait.

Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari berpendapat HAM itu bersifat universal, tidak partikular sehingga norma HAM juga berlaku di Indonesia.

Berbicara tentang KUHP, jelas Taufik, pasti bicara soal HAM. Tugas negara adalah memastikan setiap warga negara terlindungi HAM-nya. 
"Kejahatan yang terjadi pasti ada proses hukumnya, selain itu pencegahan terhadap  potensi pelanggaran HAM juga dilakukan," ujarnya.

Menurut Taufik, HAM dan KUHP  tidak bisa dilihat secara sempit, sehingga dalam melihat KUHP yang baru ini harus secara menyeluruh.

Taufik menilai KUHP baru jauh lebih baik daripada KUHP yang masih berlaku sekarang. Sejumlah pasal karet yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat, tegas Taufik, tidak lagi mudah diterapkan dengan sejumlah pengaturan dalam KUHP yang baru.

Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti mengkritisi istilah pelanggaran HAM berat diubah menjadi tindak pidana berat terhadap HAM dengan ancaman pidana minimal yang dikurangi dari minimal 10 tahun-maksimal 25 tahun menjadi minimal 5 tahun-maksimal 25 tahun. 
"Ini mendegradasi kekhususan tindak pidana HAM berat," tegas Fatia.

Dalam KUHP yang baru, Fatia berpendapat, pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak bisa diadili karena ada pembatasan masa kadaluwarsa penuntutan kasus. Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur berpendapat HAM adalah jantung dari konstitusi dan warga negara, sehingga bila saat ini ada anak bangsa terkekang HAM-nya harus dipertanyakan.

Menurut Isnur, perhatian dunia terhadap Indonesia pasca-disahkannya KUHP yang baru karena ada kekhawatiran pelaksanaan demokrasi di tanah air semakin buruk.

Bahkan, ujar Isnur, berdasarkan sejumlah survey masyarakat saat ini semakin takut dalam berpendapat.

Kasus revisi UU ITE yang baru dilakukan setelah 14 tahun diundangkan, tambah Isnur, seharusnya  bisa dilakukan terhadap KUHP baru yang masih memiliki banyak kekurangan.

Menurut Isnur, penyampaian masukan yang konsisten dari masyarakat sipil terkait revisi KUHP yang baru harus dilakukan, agar semakin banyak pihak yang memahami adanya kekurangan dalam KUHP yang baru, sehingga bisa segera diperbaiki demi acuan hukum pidana yang berkeadilan dan mampu melindungi HAM setiap warga negara.

Jurnalis senior Saur Hutabarat berpendapat perdebatan yang muncul dalam diskusi ini menunjukkan bahwa waktu tiga tahun sebelum diterapkannya UU KUHP yang baru ini, merupakan waktu yang panjang.

Sebagai jurnalis, Saur juga mempertanyakan asumsi yang dipakai dalam KUHP yang baru ini yang menempatkan sebuah berita dinilai sebagai satu variabel bebas yang bisa memicu kerusuhan.

"Apakah presiden dan wakil presiden mendatang  pemimpin mudah tersinggung. Saya berharap tidak," ujarnya. *


Anggota Terkait :

Dr. LESTARI MOERDIJAT S.S., M.M.