image

Catatan Ketua MPR RI : Perubahan Iklim dan PPHN Untuk Ketahanan Pangan

Senin, 11 Juli 2022 06:54 WIB

Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka

POTENSI menurunnya produktivitas sektor pertanian tanaman pangan akibat perubahan iklim akan menghadirkan tantangan serius bagi masa depan generasi anak-cucu. Strategi negara-bangsa untuk merespons tantangan itu idealnya mulai dirumuskan dan disepakati sejak sekarang. Dan, demi konsistensi serta ketaatan penyelenggara pemerintahan, kesepakatan atas strategi pembangunan sektor pertanian tanaman pangan itu akan ditetapkan dalam Pokok-pokok Halauan Negara (PPHN).

Karena berfungsi sebagai arah dasar pembangunan nasional, PPHN patut dan wajib memberi penekanan khusus tentang masa depan aspek ketahanan pangan negara-bangsa.  Masalah ini perlu mendapat perhatian khusus, karena perubahan iklim dengan segala eksesnya berpotensi melemahkan ketahanan pangan nasional di masa depan.

Para ahli, termasuk Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), sudah membuat penelitian dan perkiraan tentang dampak perubahan iklim terhadap sektor tanaman pangan di dalam negeri. Penelitian itu mengingatkan semua elemen masyarakat bahwa akan terjadi penurunan produksi tanaman pangan akibat pola musim yang tak menentu. Karena banjir atau durasi kekeringan yang panjang, produksi tanaman pangan di Jawa berpotensi turun sekitar lima (5) persen pada 2025, dan 10 persen pada 2050.

Maka, PPHN harus menyikapi dan menetapkan masa depan ketahanan pangan nasional sebagai target negara-bangsa, agar semua komponen bangsa peduli. Selain itu, aspek ketahanan pangan nasional di masa depan harus ditetapkan dalam PPHN agar setiap penyelenggaran pemerintahan, baik pusat maupun daerah, taat dan konsisten bekerja mewujudkan ketahanan pangan.

Ekses perubahan iklim  tampak begitu nyata sepanjang dasawarsa terakhir ini. Ekses itu bahkan dirasakan pada hampir semua aspek kehidupan, dan merata di seluruh dunia. Ditandai oleh naiknya suhu permukaan bumi, perubahan iklim  menyebabkan terjadinya kekacauan pola musim.

Pola musim yang sulit diprediksi tentu saja berdampak signifikan pada sektor pertanian tanaman pangan. Dari aspek kesuburan, daya dukung lahan terus menurun. Hasil penelitian para ahli juga menyebutkan bahwa dari aspek volume, ketersediaan air pun semakin berkurang dengan kualitas yang terus menurun. Gangguan pada sektor pertanian tanaman pangan bertambah dengan munculnya faktor perusak seperti hama wereng batang coklat.

Sebagaimana dijelaskan para ahli, hama wereng batang coklat merupakan hama tanaman padi. Hama ini tumbuh-kembang pada lingkungan mikroklimat (iklim mikro) yang  lembab. Salah satu penyebab Kelembaban lingkungan adalah tingginya curah hujan pada periode kemarau.

Kecenderungan seperti itu mengakibatkan produktivitas sektor pertanian pun terus menurun dari  waktu ke waktu. Bahkan, publik pun tentu sudah pernah menyimak pemberitaan tentang  gagal panen yang dialami para petani tanaman pangan di beberapa daerah di dalam negeri. Upaya beradaptasi dengan coba merubah musim tanam pun menjadi tidak mudah karena cuaca yang serba tak menentu itu.

Hancurnya sektor pertanian tanaman pangan akibat perubahan iklim sudah dialami Madagaskar, sebuah negara di Samudra Hindia yang berseberangan dengan pantai timur Benua Afrika. Tahun 2021 lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa Madagaskar menjadi negara pertama yang mengalami bencana kelaparan akibat perubahan iklim.  Durasi kekeringan yang panjang menyebabkan sektor pertanian tanaman pangan di negara itu gagal panen.

Di dalam negeri, informasi tentang petani lokal yang gagal panen akhir-akhir ini pun sudah akrab di telinga sebagian masyarakat, karena contoh kasusnya tidak sedikit dan terjadi di banyak daerah. Misalnya, menjelang akhir 2021, sekitar 578,5 hektar lahan padi di empat daerah di Jambi gagal panen akibat curah hujan tinggi. Belum lama ini, di Kabupaten Garut, Jawa Barat, ratusan hektar tanaman tomat dan cabai rusak karena  tingginya curah hujan. Sudah barang tentu banyak petani gagal panen.  Harga cabai yang mahal belakangan ini pun disebabkan banyak petani gagal panen.

Contoh kasus lain yang juga wajib dicermati adalah pengalaman  komunitas petani kopi Gayo di Aceh yang mengalami penurunan produktivitas sampai 30 persen akibat perubahan iklim. Beberapa tahun lalu, komunitas petani holtikultura di Desa Gogok Darussalam, Kecamatan Tebingtinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, juga mengalami gagal panen. Ratusan hektar lahan yang ditanami jagung, pare, kacang panjang, terong, cabe dan jenis holtikultara lainnya tidak bisa dipanen karena terendam banjir pasang air laut (Rob).

Fenomena kasus gagal panen yang terjadi di berbagai belahan dunia akibat perubahan iklim itu mendorong PBB mengingatkan komunitas global bahwa dunia sedang menghadapi potensi bencana akibat menurunnya volume pasokan bahan pangan. Setelah Madagaskar, PBB memperkirakan akan banyak bencana kelaparan yang kemudian berpotensi terjadi di tempat lain. Selain faktor perubahan iklim, komunitas petani saat ini juga mendapatkan tekanan pada biaya produksi akibat lonjakan harga pupuk dan energi.

Maka, dalam konteks masa depan ketahanan pangan negara-bangsa, Indonesia sejak sekarang harus merespons segala dampak atau ekses perubahan iklim terhadap sektor tanaman pangan. Jangan menunggu, karena tidak ada yang tahu apakah pola musim akan kembali seperti sebelumnya. Rumusan strategi dan program yang inovatif harus diupayakan secara berkelanjutatan.

Dan, karena persoalannya bermuara pada perubahan iklim dengan segala eksesnya, proses perencanaan dan strategi pembangunan sektor pertanian tanaman pangan idealnya dikerjakan bersama, lintas ilmu dan lintas sektor. Pendekatan seperti ini nyaris jadi kebutuhan mutlak, karena inti atau sumber masalahnya butuh kajian dari beberapa disiplin ilmu pengetahuan untuk  kemudian diintegrasikan dalam rencana program.

Masuk akal untuk mengasumsikan bahwa dalam proses perencanaan dan strategi pembangunan sektor pertanian tanaman pangan di masa kini dan nanti, Kementerian Pertanian tidak bisa lagi bekerja sendiri. Para ahli pertanian mau tak mau butuh informasi atau masukan dari disiplin ilmu lain. Maka, butuh sinergi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta para ahli klimatologi dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika).

Memang, fakta  bahwa Indonesia tidak impor beras dalam tiga-empat tahun terakhir ini patutlah disyukuri . Namun, kemungkinan terburuk akibat perubahan iklim di tahun-tahun atau dekade mendatang tetap harus diantisipasi guna meminimalisir ekses perubahan iklim.

Generasi orang tua masa kini harus harus melakukan sesuatu untuk setidaknya meringankan beban tantangan yang akan dihadapi generasi anak-cucu pada dekade-dekade mendatang. Untuk alasan itulah MPR RI menetapkan aspek masa depan ketahanan pangan nasional dalam PPHN sebagai kewajiban yang harus dikerjakan dan dijaga oleh setiap penyelenggara pemerintahan, baik di pusat maupun daerah.

PPHN akan mendorong pemerintah untuk segera memulai langkah atau program-program kekinian yang dapat meminimalisir dampak perubahan iklim. Misalnya, PPHN akan mewajibkan pemerintah pusat maupun daerah konsisten merawat dan melindungi kemurnian hutan, mengurangi penggunaan zat kimia berbahaya dalam usaha pertanian dan menggunakan bahan nabati untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman. *


Anggota Terkait :

Dr. H. BAMBANG SOESATYO, S.E., S.H., M.B.A.