image

HNW : Hukuman Mati Bagi Pemerkosa Santriwati Adalah Konstitusional

Jumat, 14 Januari 2022 11:58 WIB

Jakarta,- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA kembali mendukung sikap tegas jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati terhadap Herry Wirawan terdakwa pemerkosa 12 santriwati. Hidayat juga  mengkritik pihak-pihak yang menolaknya, dan mengingatkan kepada mereka agar konsisten dengan pelaksanaan prinsip konstitusi bahwa Indonesia adalah Negara Hukum sesuai Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.  Sehingga  dalam praktek hukum juga hanya merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.  

“Ini adakah  bukti keseriusan dan komitmen untuk memberantas kekerasan dan kejahatan seksual.  Apalagi  ketika anak-anak yang menjadi korbannya. Sanksi hukuman mati itu diakui dalam sistem hukum di Indonesia, melalui UU Perlindungan Anak, yang dikuatkan Presiden Jokowi dengan Perppu yang menjadi UU No. 17/2016 tentang Perubahan Kedua UU Perlindungan Anak. Apalagi berdasarkan prinsip hukum dan HAM di Indonesia, ada Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemberlakuan hak asasi manusia di Indonesia harus tunduk pada pembatasan yang dibuat oleh undang-undang, seperti UU Perlindungan Anak,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (14/1).

HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid  menyatakan,    meski UUD NRI 1945 memberikan jaminan terhadap hak hidup sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28I, tetapi pelaksanaan hak hidup itu dibatasi oleh Pasal 28J ayat (2) tersebut. “Artinya, sanksi hukuman mati itu tetap sah diberlakukan selama diatur melalui undang-undang yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.

Undang-undang  Perlindungan Anak kata HNW  jelas mencantumkan beberapa ketentuan hukuman mati terhadap kejahatan serius terhadap anak. Selain Pasal 81 ayat (5) terkait kekerasan seksual terhadap anak yang dikenakan kepada Herry Wirawan, ada pula Pasal 89 ayat (1) yang mencantumkan hukuman mati terkait pelibatan anak dalam kasus penyalahgunaan narkotika dan / atau psikotropika. Apalagi  di tengah meningkatnya kejahatan  seksual terhadap Anak, sepatutnya  bila pasal-pasal dari UU Perlindungan Anak yang mengatur sanksi maksimal hingga hukuman mati, bila ketentuan yang masih berlaku itu dipraktekkan.  Seperti  tuntutan yang diajukan Kejati Jabar terhadap terdakwa predator santriwati, Hery Wirawan.

Anggota Komisi VIII DPR RI yang   membidangi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu juga mendukung  tuntutan Jaksa terhadap Herry Wirawan yang menambahkan sanksi pemberat,  sebagai ikhtiar kesungguhan menghadirkan perlindungan terhadap anak-anak.  Juga  sebagai usaha menghadirkan efek jera agar orang lain berpikir berulangkali untuk melakukan perbuatan serupa.

“Memang ada pihak yang berdalih tidak ada korelasi antara hukuman mati dan efek jera, dengan argumen bahwa kejahatan toh masih ada. Ini logika yang sesat dan tak sesuai dengan prinsip negara hukum seperti yang berlaku di Indonesia. Kalau cara berpikirnya seperti itu, maka semua sanksi pidana yang ringan sekalipun akan bisa dianggap tidak diperlukan, karena dianggap tidak memiliki efek jera, karena masih terjadinya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat,” tukasnya

HNW mengatakan, dukungan  hukuman mati terhadap Hery Wiryawan, kata HNW   merupakan komitmen dirinya dan juga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam memberantas dan mencegah kekerasan serta  kejahatan seksual. Karenanya  HNW juga berharap agar RUU Tindak PIdana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), bila akan disahkan juga sebagai UU, agar  diperbaiki sesuai   aspirasi Publik.  Antara  lain dengan mencantumkan hukuman yang maksimal ini.

“Ini bentuk konsistensi kami memberantas kekerasan seksual dan melindungi korban. Kalau    pendukung RUU TPKS serius melawan kejahatan/kekerasan seksual, dan betul-betul ingin melindungi korban,   harusnya juga mendukung tuntutan hukuman mati, tidak malah menolaknya, dan memasukkan ketentuan sangsi hukuman mati itu ke dalam Pasal-Pasal di RUU TPKS,” tukas Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Secara tegas, HNW juga mengkritik Komnas HAM yang justru berkomentar menolak tuntutan hukuman mati terhadap predator anak.   Seharusnya, norma hukum yang dijadikan acuan   hukum oleh Komnas adalah yang berlaku di Indonesia.  Karena  kasusnya terjadi di Bandung, Indonesia. Maka,  mestinya Komnas HAM   mendukung pemberlakuan hukum yang berlaku di Indonesia.   Bukan  malah mengendorse norma hukum berlaku di negara lain, seperti Inggris dalam kasus Reinhard Sinaga, dengan mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

“Setiap negara memiliki kedaulatan   menentukan sistem atau jenis hukum yang diberlakukan di negaranya.  Dan Indonesia adalah Negara Hukum dengan UUD NRI tahun 1945 dan UU Perlindungan Anak yang melegalkan hukuman mati.  Dengan  logika hukum dan HAM, maka Komnas HAM mestinya ikut mendukung pemberlakuan norma hukuman mati tersebut. Semoga Anak-Anak, para korban kejahatan/kekerasan seksual dapat merasakan hadirnya negara/hukum yang adil yang melindung mereka.  Semoga  Hakim mengabulkan tuntutan hukuman mati, yang bisa menghadirkan efek jera. Agar Indonesia lekas selamat dari kedaruratan kejahatan dan kekerasan seksual,” pungkasnya.


Anggota Terkait :

Dr. H. M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A.