image

HNW : “Pentingnya Reaktualisasi Pancasila Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Untuk Demokrasi Yang Konstitusional”

Rabu, 06 Juli 2022 10:24 WIB

Surakarta,- Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid LC, MA., mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK), yang  belum lama, ini menegaskan kembali penolakan terhadap perkawinan beda agama. Sikap penolakan terhadap perkawinan beda agama, juga disampaikan oleh Pemerintah melalui wakilnya dalam persidangan di MK yaitu Menkumham dan Menteri Agama. Penyikapan MK dan Pemerintah itu sesuai dengan Pancasila pasca Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 yang menegaskan keyakinannya bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan kesatuan tak terpisahkan dari Konstitusi. Sikap penolakan Pemerintah dan MK itu juga sesuai prinsip HAM yg diatur dalam Konstitusi (UUDNRI 1945) pasal 28 B ayat 1 dan pasal 28J ayat 2.  

"Soal pengajuan peninjauan kembali tentang ketentuan Pernikahan beda Agama ke MK, hanyalah salah satu contoh betapa pentingnya Pancasila pasca Dekrit 5 Juli 1945 direaktualisasikan dalam bentuk yang benar. Agar rumah bangsa Indonesia ini selalu mendapatkan solusi yang konstitusional sesuai dengan ideologi Bangsa dan Negara. Yaitu,  Pancasila,” kata Hidayat Nur Wahid menambahkan.

Pernyataan itu disampaikan   Hidayat Nur Wahid, saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional Dan Call For Papers, kerjasama Sekretariat Jenderal MPR RI dengan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah, dan Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu  Sosial. Tema yang dibahas pada seminar nasional tersebut adalah Aktualisasi Pancasila Dalam Mewujudkan Sistem Demokrasi Konstitusional Indonesia. Seminar nasional tersebut berlangsung di Surakarta, Selasa (5/7/2022).

Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua MPR melakukan pemukulan gong sebagai  penanda dimulainya Seminar Nasional. Hidayat Nur Wahid yang akrab disapa HNW juga menyaksikan penandatangan kesepahaman dan kerjasama antara MPR dengan UMS, yang masing-masing dilakukan oleh Sesjen MP Dr. Maruf Cahyono, SH., MH.,  dan Rektor UMS Prof. Dr. Sofyan Anif, M.Si.

Ada lima narasumber yang menyampaikan makalahnya pada acara terseut. Yaitu, Prof. Dr. M. Din Syamsuddin., MA., Prof. Sofyan Effendi, MPA, PhD, Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum., Dr. Maruf Cahyono, SH., MH; serta Dr. Ma’mun Murod, M.Si.

Pada kesempatan itu, Hidayat mengingatkan, bahwa 5 Juli bertepatan dengan hari digelarnya Seminar Nasional, memang memiliki arti penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Karena pada 5 Juli 1959, Presiden pertama  Ir. Soekarno  mengeluarkan dekrit presiden. Dekrit tersebut antara lain berisi tidak berlakunya UUDS 1950, serta berlakunya kembali UUD 1945.

"Sekalipun Seminar ini diselenggarakan pada 5 Juli, bertepatan dengan peristiwa Dekrit Presiden Soekarno yang pada 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekritnya, untuk antara lain kembali kepada UUD 45, bukan berarti Seminar ini mengajak Pemerintah untuk kembali kepada UUD 45 yang asli. Sebab selain kondisi politik dan sosialnya sangat berbeda, juga pastilah kalangan akademis yang paham Konstistusi secara baik dan benar, tidak mau melakukan hal yang inkonstitusional. Karena UUD 45 yang asli, tidak mengenal adanya Pemilu 5 tahun sekali, juga tidak mengenal adanya pembatasan masa jabatan Presiden. Kalau saat ini issunya dibawa kepada kembali ke UUD 45 yang asli, hal itu akan mudah ditunggangi oleh kepentingan politik jangka pendek untuk perpanjang masa jabatan Presiden 3 periode atau bahkan hingga tanpa batas sebagaimana yang ada dalam UUD 45 yang asli itu. Ini tidak sesuai dengan ketentuan baru dalam UUD NRI 1945 pasca amandemen. Karenanya saya berharap, justru dipilihnya tanggal 5 Juli untuk seminar nasional ini, untuk mengingatkan hikmah dari peristiwa Dekrit 5 Juli 1945.  Antara lain untuk menemukan solusi berbangsa dan bernegara agar keluar dari deadlock, dan agar kita teguh dengan kesepakatan cita-cita Indonesia Merdeka dengan Pancasila sebagai dasar Negara. Sebagaimana kesepakatan Bapak-Bapak  Bangsa yang berkompromi menyepakati hadirnya gentlement agreement, atau Piagam Jakarta yang juga disebut sebagai Pembukaan UUD 1945,” kata Hidayat menambahkan.

Karenanya HNW menegaskan,  bahwa pelaksanaan seminar nasional pada 5 Juli bertepatan dengan lahirnya Dekrit Presiden Soekarno, bukan berarti ingin  membangkitkan  kembali peristiwa mensejarah untuk ditunggangi dengan wacana sebagian kelompok yang mengkampanyekan  penundaan pelaksanaan pemilu 2024, dan juga wacana presiden tiga periode. Apalagi saat ini Pimpinan MPR tidak mempunyai agenda amandemen UUD untuk memperpanjang masa jabatan Presiden. Pada saat berbarengan, Badan Pengkajian MPR menyepakati untuk tidak melanjutkan usulan amandemen terbatas guna hadirkan PPHN, agar tidak ditunggangi kepentingan perubahan Konstitusi untuk perpanjang masa jabatan Presiden.  Dengan demikian makin tidak relevan lagi menjadikan peringatan Dekrit Presiden 5 Juli untuk mengulangi Presiden tanpa batas masa jabatan sekalipun dibungkus dengan dalih kembali ke UUD 45 yang asli yang memang tidak membatasi masa jabatan Presiden itu.

Hendaknya, seminar ini menggali hikmah dan sisi-sisi yang relevan dari dekrit itu untuk aktualisasi dan reaktualisasi Pancasila dalam semangat keyakinan Presiden RI. Yaitu, keyakinan Bung Karno, bahwa Piagam Jakarta yang di dalamnya terdapat  rumusan Pancasila yang disepakati oleh BPUPK, dan disepakati oleh PPKI pada  18 Agustus 1945 dalam rumusan finalnya sebagai dasar dan ideologi Negara. Agar kehidupan demokrasi yang berdasarkan konstitusi dan UU, sesuai dengan semangat Pancasila  yang dijiwai oleh Piagam Jakarta sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1945 yang mendapatkan persetujuan secara aklamasi, oleh seluruh anggota DPR hasil Pemilu tahun 1955 yang dinilai sebagai Pemilu yang paling bersih dan jujur.

"Agar, laku demokrasi konstitusional di Indonesia mencerminkan kesungguhan kejujuran  melaksanakan semua sila dari Pancasila. Sehingga hadirlah demokrasi konstitusional dan solutif untuk mewujudkan cita-cita  Proklamasi dan Reformasi. Ketentuan ini jadi penting untuk terus dikaji dan disosialisasikan, apalagi MPR pada era Reformasi juga sudah memutuskan bahwa Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya ada rumusan Pancasila, tidak bisa dilakukan perubahan. Itu artinya dengan berlakunya Dekrit 5 Juli 1945, maka Pancasila yang menjiwai UUD 45 dan bagian tak terpisahkan dari Konstitusi, harus menjadi acuan saat ingin mempraktekkan demokrasi konstitusional di Indonesia,” pungkasnya.


Anggota Terkait :

Dr. H. M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A.