image

Masyarakat dan Perempuan Adat Fondasi Utama Proses Pembangunan Berkelanjutan

Rabu, 08 Maret 2023 19:28 WIB

Perlindungan masyarakat dan perempuan adat melalui undang-undang yang spesifik mesti diwujudkan, karena kearifan lokal dengan kekayaan budaya dan karya intelektualnya adalah  fondasi utama dalam proses pembangunan berkelanjutan.

"Masyarakat adat hingga saat ini masih berhadapan dengan sejumlah persoalan pemenuhan hak dasar yang kerap terabaikan dengan alasan pembangunan nasional," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka Focus Group Discussion bertema Menempatkan Masyarakat Adat dan Perempuan Adat Dalam Konteks Kebangsaan di Ruang Delegasi gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu (8/3).

Acara yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H, LL.M (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Willy Aditya, S.Fil., MT. (Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI), Dr. (H.C.) H. Sulaeman L. Hamzah (Anggota Komisi IV DPR RI), Moh. Haerul Amri, SP (Anggota Komisi X DPR RI), Dr. Rima Agristina, S.H., S.E., M.M (Deputi Bidang, Pengendalian dan Evaluasi, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP), Sjamsul Hadi, S.H., M.M. (Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat, Kemendikbudristek RI), Devi Anggraini (Ketua Umum Persekutuan Perempuan Adat Nusantara/PEREMPUAN AMAN), dan Prof. Dr. Hj. Masyitoh Chusnan, M. Ag (Ketua Kowani, Koordinator Bidang Agama Hukum dan HAM) sebagai narasumber.

Menurut Lestari, persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat adat itu terjadi karena jaminan  perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat belum sepenuhnya hadir di negeri ini.

Padahal, tambahnya, mengutip Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) AMAN, per 2020 sebaran masyarakat  adat sebagai komponen pembentuk dan kemajemukan Indonesia terdiri atas 70  juta jiwa masyarakat adat, 2.371 Komunitas Adat, 10,86 juta luas wilayah adat yang  dipetakan tersebar di 31 provinsi.

Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pun, ujar dia, berawal dari  bersatunya komunitas-komunitas adat yang ada di seantero wilayah Nusantara.

Rerie sapaan akrab Lestari berpendapat, sebagai bagian dari  masyarakat adat, permasalahan yang hampir sama dialami perempuan adat.

Perempuan adat, jelas Rerie, berperan penting menjaga nilai-nilai  budaya, merawat kearifan lokal dengan seperangkat karya intelektualnya.  

Menurut Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, perempuan adat berperan sentral dalam masyarakat adat karena selain  memegang peranan sosial, perempuan adat menjaga dan melestarikan lingkungan.

Namun, ujar Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, perempuan adat hingga saat ini masih bergulat untuk melepaskan diri dari stigma dan  belenggu budaya patriarki, ditinggalkan dalam proses pembangunan, dan ragam permasalahan  yang belum terselesaikan.

Karena itu, tegas Rerie, perlindungan masyarakat dan perempuan adat mesti direalisasikan  melalui sebuah undang-undang spesifik yang mengatur dinamika kehidupan  masyarakat adat sekaligus pengakuan utuh terhadap masyarakat adat sebagai  bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan Panitia Kerja (Panja) DPR RI pada 4 September 2020 sepakat agar RUU Masyarakat Hukum Adat diajukan ke Sidang Paripurna, tetapi karena ada satu fraksi tidak sepakat, sampai saat ini RUU tersebut belum dibahas kembali.

"Ini tantangan kita bersama. Bagaimana delapan fraksi sepakat dan hanya satu fraksi yang menolak, hingga dua periode DPR tidak bisa mengundangkan RUU Masyarakat Hukum Adat," ujar Willy.

Perjuangan, tegas Willy, harus dilakukan bersama. Karena masyarakat adat selalu saja dihadap-hadapkan dengan pemodal besar dan proses pembangunan.

Padahal, ujar dia, RUU Masyarakat Hukum Adat hadir bertujuan untuk merawat ke-Indonesia-an setiap anak bangsa.

Ketua Umum PEREMPUAN AMAN, Devi Anggraini mengungkapkan bahwa perempuan adat adalah perempuan yang memiliki peran dan fungsi  nyata terkait ketahanan hidup komunitasnya berdasarkan asal usul leluhur secara turun menurun di atas wilayah adat.

Saat membicarakan masyarakat adat, ujar Devi, kerap kali perempuan adat terabaikan. Padahal perempuan adat sarat dengan pengetahuan yang sarat dengan upaya pelestarian budaya.

Karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tambah Devi, seringkali berbagai pengetahuan yang dimiliki perempuan adat tidak muncul di permukaan dan lambat laun hilang. "Ada hak kolektif perempuan adat yang dihilangkan," ujar Devi.

Pada kesempatan itu, Devi  mengungkapkan kekecewaannya terhadap draf RUU Masyarakat Hukum Adat yang tidak memasukkan kesetaraan gender pada perempuan adat di dalamnya.

Deputi Bidang, Pengendalian dan Evaluasi BPIP, Rima Agristina berpendapat dalam perjalanan kebangsaan Indonesia sebenarnya sejak Sumpah Pemuda sudah ada konsensus kebangsaan.

Kemudian, ujar Rima, setelah itu ada pelembagaan konsensus kebangsaan tersebut melalui Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945.

Selain itu, tambah dia, dalam proses mengisi kemerdekaan kita juga mencoba terus merawat konsensus kebangsaan itu.

Rangkaian upaya merawat konsensus kebangsaan itu, tegas Rima, sarat dengan peran dari masyarakat adat.

Karena, menurut dia, dalam menjalankan nilai-nilai Pancasila dan konstitusi  tidak bisa lepas dari identitas budaya kita yang bersumber dari masyarakat adat.

Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat, Kemendikbudristek RI, Sjamsul Hadi mengungkapkan direktorat yang dipimpinnya juga berupaya untuk melayani pemenuhan hak masyarakat adat termasuk perempuan adat.

Perempuan adat, menurut Sjamsul, adalah kunci untuk melestarikan budaya karena perempuan adat memiliki pengetahuan yang berkelanjutan tentang adat dan budaya.

Bahkan, tambah dia, di sejumlah daerah mulai ada indikasi hilangnya bahasa lokal karena sudah tidak ada penutur bahasa tersebut.

Sejak 2020, ujar Sjamsul, pihaknya sudah mengupayakan untuk melakukan advokasi antarkementerian terkait permasalahan yang kerap dihadapi masyarakat adat.

Sjamsul berpendapat permasalahan yang dihadapi masyarakat adat sangat terkait dengan perhatian pemerintah di tingkat pusat dan daerah agar lebih memberi ruang untuk meningkatkan eksistensi masyarakat adat.

"Kami butuh kader penggerak untuk membuka ruang bagi perempuan adat agar mampu  meningkatkan kapasitas dan eksistensi perempuan adat," ujarnya.

Anggota Komisi IV DPR RI) Sulaeman L. Hamzah berharap pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat bisa dilanjutkan pada masa persidangan DPR tahun ini.

Sulaeman berpendapat proses pembahasan RUU Masyarakat Hukum Adat sudah sesuai dengan asas prosedur pembuatan undang-undang.

Dia mengakui dalam draf RUU Masyarakat Hukum Adat yang dibahas saat ini masih terdapat sejumlah kekurangan, termasuk belum masuknya pasal terkait eksistensi perempuan adat.

Ketua Kowani, Koordinator Bidang Agama Hukum dan HAM, Masyitoh Chusnan berpendapat hak dan kewajiban perempuan seringkali tidak dibicarakan, karena di masa lalu perempuan kurang dihargai.

Membicarakan terkait perempuan adat di Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret, menurut Masyitoh, merupakan langkah yang tepat sekali.

Dia menilai, bila legislatif, eksekutif, dunia usaha dan masyarakat tidak ada kepedulian terhadap masyarakat adat akan sulit untuk membicarakan tentang perempuan adat.

Padahal, menurut Masyitoh, perempuan adat adalah juga berperan penting sebagai Ibu bangsa, seperti perempuan di negeri ini yang ikut memperjuangkan kemerdekaan dan mengisinya.


Anggota Terkait :

Dr. LESTARI MOERDIJAT S.S., M.M.