image

Mewaspadai Konflik Afghanistan

Kamis, 02 September 2021 18:27 WIB


Oleh: Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024

Dikuasainya Afghanistan oleh Taliban pada medio Agustus lalu telah menyita perhatian publik dalam skala besar. Hal ini lumrah mengingat konflik Afghanistan memiliki magnitudo besar dalam mengubah wajah politik internasional. Tumbangnya rezim Mohammad Ashraf Ghani Ahmadzai yang dibentuk Amerika Serikat, diproyeksi akan menjadikan Afghanistan sebagai medan pertarungan kepentingan negara-negara besar, seperti Cina, Rusia, Turki, India, dan Pakistan. Selain itu, bangkitnya Taliban diprediksi akan menggeliatkan kembali terorisme internasional. Proyeksi terakhir inilah yang diwaspadai banyak negara, termasuk Indonesia. 

Dua proyeksi di atas tidaklah berlebihan. Akan sulit bagi Afghanistan saat ini untuk mencapai konsolidasi internal dalam waktu dekat. Taliban yang digulingkan Amerika Serikat pada 2001 karena dianggap melindungi Usamah bin Ladin, pemimpin Al-Qaidah, yang dituding Amerika Serikat sebagai dalang dibalik tragedi 9/11, tentu akan benar-benar memastikan bahwa tidak ada residu Amerika Serikat yang tertinggal. Pembersihan dengan kekerasan terhadap kelompok-kelompok pendukung Ashraf Ghani, baik sipil maupun militer, niscaya akan dilakukan. Selain itu, faktor lainnya yang memberatkan konsolidasi internal adalah penerimaan rakyat Afghanistan sendiri terhadap Taliban.

Eksistensi Taliban

Berdiri pada 1994 atas dukungan Amerika Serikat dan Pakistan dalam memerangi Uni Soviet, kekuatan Taliban perlahan tapi pasti membesar seiring dukungan masif yang diberikan rakyat Afghanistan, terutama yang beretnis Pashtun di selatan Afghanistan. Namun demikian, Taliban yang menguasai Afghanistan sepanjang 1996-2001 mendapat penolakan di lingkungan domestik karena kebijakan politiknya yang sangat keras. Taliban memberlakukan kebijakan yang keras terhadap kaum perempuan, seperti larangan keluar rumah, serta larangan untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan. Taliban juga melarang rakyat Afghanistan untuk mendengarkan musik karena dipandang haram. Selain itu, Taliban menerapkan hukum pidana yang sangat keras, yakni hukum gantung untuk pelanggaran berat yang dilakukan oleh rakyatnya.

Masuknya Amerika Serikat pada 2001 di Afghanistan dengan menggulingkan Taliban, pada awalnya dianggap sebagai angin segar bagi rakyat yang lelah hidup di bawah rezim pemerintahan Taliban yang sangat keras. Amerika Serikat yang mengusung demokrasi mulai melakukan pembenahan secara struktural terhadap tata politik dan pemerintahan Afghanistan. Amerika Serikat membangun Afghanistan berdasarkan pada konsep Trias Politica dengan adanya presiden dan dua wakil sebagai eksekutif, ditopang oleh legislatif dan yudikatif sebagai pilar demokrasi lainnya. Namun demikian, apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat ibarat membangun negara pada fondasi yang rapuh. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal.

Perubahan rezim

Pertama, dinamika politik domestik Amerika Serikat sendiri memainkan peran penting dalam kelangsungan politik luar negerinya di Afghanistan. Pergantian kekuasaan dalam dua dekade terakhir di Amerika Serikat antara Partai Republik dan Partai Demokrat sangat berpengaruh terhadap masa depan Afghanistan. Masuknya Amerika Serikat di bawah rezim Bush Junior ke Afghanistan pada 2001 didorong oleh narasi untuk menciptakan “musuh bersama”, yakni kelompok teroris. Narasi ini menjadi tawar tatkala logistik untuk membiayainya terlalu besar dan rakyat Amerika Serikat tidak sepenuhnya mendukung. Krisis finansial yang melanda Amerika Serikat pada 2008 juga menjadi pemicu perpindahan rezim kekuasaan dari Partai Republik ke Partai Demokrat melalui kemenangan Barrack Obama. Naiknya Obama merubah visi global Amerika Serikat, bukan lagi terorisme sebagai musuh utama, melainkan kebangkitan Cina dan Rusia sebagai musuh ideologis. Puncaknya adalah Amerika Serikat dibawah Joe Biden yang juga dari Partai Demokrat. 

Joe Biden yang memenangi Pilpres pada 2020 akhirnya menempuh kebijakan untuk menarik total seluruh pasukan Amerika Serikat sebelum 11 September 2021. Kebijakan ini ia tempuh setelah mengkalkulasikan segala ongkos yang dikeluarkan Amerika Serikat selama ini, serta rasionalitas rezim Biden sendiri yang menyadari bahwa tantangan hari ini adalah perbaikan kondisi ekonomi domestik Amerika Serikat dan efek pandemi yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Faktor kedua adalah upaya klandestin kelompok Taliban pasca tergusur oleh Amerika Serikat pada 2001. Taliban tidak sepenuhnya tersisih. Mereka secara terus-menerus melakukan konsolidasi di wilayah pedesaan-pedesaan Afghanistan. Mereka memanfaatkan kelemahan Amerika Serikat yang terlalu fokus pada Irak. Puncaknya adalah ketika Joe Biden mengumumkan rencana penarikan pasukan Amerika Serikat secara besar-besaran. Momen ini menjadi momentum kembali bercokolnya Taliban. 

Negara rapuh

Afghanistan hari ini di bawah rezim Taliban adalah negara yang rapuh dan belum bisa diprediksi ke mana arah bandul politik luar negerinya akan bergerak. Taliban saat ini sedang berjuang keras untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara-negara lain dengan berupaya untuk meyakinkan dunia internasional bahwa mereka akan berlaku demokratis terhadap rakyatnya, serta membangun soliditas bersama dengan para penentang mereka di dalam negeri. Komitmen ini perlu dicermati, karena seandainya benar Taliban akan berlaku demikian, jangka waktu yang dibutuhkan tidak singkat. Sementara gejolak di dalam negeri sendiri sangat hebat karena rakyat Afghanistan yang anti-Taliban sedang berupaya keras untuk eksodus ke luar negeri. Sisa-sisa militer Afghanistan pro-Ghani juga masih bergerilya untuk melakukan serangan balasan. Inilah yang menjadi fragilitas utama di Afghanistan saat ini.

Fragilitas tersebut akan menimbulkan implikasi yang tidak sederhana. Yang paling dikhawatirkan adalah bergeliatnya kembali sel-sel teroris di berbagai negara. Cina dan India adalah dua negara terdekat secara geografis yang sangat mencermati potensi negatif ini. Cina dan India khawatir bahwa berkuasanya Taliban akan memotivasi gerakan-gerakan teror di wilayah Xinjiang dan Kashmir yang berpotensi menjadi masalah keamanan nasional bagi Cina dan India ke depan. Kekhawatiran Cina dan India serupa dengan yang dialami oleh Indonesia. Kelompok-kelompok teroris di Indonesia, seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), merupakan kelompok yang berbaiat kepada Al-Qaidah, organisasi teroris global yang disokong Taliban. Beberapa pelaku teror yang pernah ditangkap dan dieksekusi mati di Indonesia, seperti Amrozi dan kawan-kawan, adalah individu-individu yang pernah mengeyam pelatihan teror di Afghanistan. 

Kewaspadaan Indonesia

Dalam konteks Indonesia, hal yang perlu dilakukan saat ini bukan hanya berada pada tataran mencermati, tapi harus ditingkatkan pada level mewaspadai (national vigilance). Instansi-instansi terkait di dalam negeri, seperti Kemenko Polhukam RI, TNI, Polri, dan BIN, harus terus-menerus memetakan dan meradar pergerakan sel-sel teroris di tanah air. Jangan sampai kemenangan Taliban ini menjadi sumber inspirasi bagi mereka untuk hidup dan bergeliat kembali. Gelagatnya terlihat sangat jelas. Polri misalnya, pada Agustus kemarin, telah menangkap sedikitnya 53 orang terduga teroris yang akan menjalankan aksinya. Hal ini secara implisit bermakna bahwa bangkitnya terorisme dalam skala masif di Indonesia sangat terbuka lebar; selnya masih hidup, dan kemenangan Taliban bisa menjadi bahan bakar pergerakan yang lebih masif ke depan.

Langkah cermat dan waspada lainnya perlu dilakukan oleh Kemenlu RI sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia. Pilihan Kemenlu RI untuk tidak secara tergesa memutuskan apakah mengakui rezim Taliban atau tidak merupakan pilihan yang rasional (rational choice) untuk saat ini. Kemenlu RI harus mampu menakar dengan tepat kapabilitas organisasional Taliban dalam mengonsolidasi stabilitas domestik Afghanistan, serta mereduksi anasir luar yang sarat kepentingan yang dapat menambah instabilitas politik dan keamanan Afghanistan. Corak diplomasi yang harus dilakukan oleh Kemenlu RI adalah diplomasi dan komunikasi aktif dengan rezim Taliban agar menerapkan tata politik yang inklusif dan demokratis, serta memastikan bahwa Afghanistan tidak akan menjadi ladang subur bagi radikalisme dan terorisme. Inilah kepentingan nasional paling utama Indonesia saat ini yang harus diperjuangkan oleh Kemenlu RI di panggung komunikasi dan negosiasi internasional.

***


Anggota Terkait :

Dr. H. JAZILUL FAWAID, SQ., M.A.