image

Pascaputusan MK Terhadap UU Cipta Kerja, Arsul Sani: MK Idealnya Memberi Putusan Dengan Prinsip Menyelesaikan Masalah Tanpa Potensi Masalah

Senin, 29 November 2021 19:27 WIB

“Saya kira apa yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya merupakan sebuah hal yang bernilai positif”, ujar Wakil Ketua MPR DR. Arsul Sani SH., MSi., dalam ‘Diskusi Empat Pilar MPR’ yang bertema ‘Menakar Inkonstitusionalitas UU Cipta Kerja Pascaputusan MK’. Lebih lanjut dalam diskusi yang digelar di Media Center, Gedung Nusantara III, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, 29 November 2021, politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menuturkan putusan MK itu banyak yang mengapresiasi. “Meski akademisi maupun pengamat hukum tata negara menyebut putusan itu merupakan putusan kompromi, jalan tengah bahkan dikatakan bersifat ambiguitas”, ujarnya.

Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu menegaskan dirinya berharap apa yang menjadi putusan MK merupakan putusan yang menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan potensi  masalah. Dirinya mengatakan demikian sebab apa yang diputuskan itu mempunyai potensi menimbulkan masalah baru.

Kalau dilihat dari putusan MK terhadap perkara pengujian UU Cipta Kerja, Arsul Sani menyebut apa yang diputuskan oleh lembaga negara itu memutus uji formil. “Putusan MK saat ini pada uji formil”, ungkapnya. Putusan MK memutuskan undang-undang yang ada dengan putusan inskontitusional bersyarat. Dengan putusan ini maka pembentuk undang-undang, yakni Pemerintah dan DPR, harus memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang. “Agar memenuhi syarat-syarat formilnya”, ujarnya.

Dari sinilah maka Arsul Sani mengatakan bahwa yang diuji oleh MK pada undang-undang itu bukan pada isi atau materiilnya. Masalahnya UUD NRI Tahun 1945, MK tidak secara tegas menetapkan bahwa MK memiliki kewenangan uji formil. “Karena itu batu uji MK-pun menggunakan Undang-Undang, yakni UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, tuturnya.
 
Dari sinilah menurut Arsul Sani potensi masalah dari putusan MK itu bisa terjadi. Dikatakan bila Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang sudah memperbaiki syarat formil maka nanti ada yang tidak puas dengan masalah materiilnya, pastinya selanjutnya akan ada keinginan untuk melakukan uji materiil terhadap UU Cipta Kerja lagi.

Menurut Arsul Sani seharusnya MK dalam memutuskan putusan itu sekaligus, yakni secara formil maupun materiil. “Jangan sendiri-sendiri sehingga kerja yang dilakukan sekali saja”, ujarnya. Sehingga hal demikian tidak menimbulkan potensi masalah baru.

Menurutnya, menilik Risalah Pembahasan Amandemen UUD,  kewenangan yang diberikan kpd MK sebatas kewenangan uji materiil bukan uji formil. Ketika kita membentuk MK, kewenangan yang dimiliki ditujukan untuk kewenangan uji materril. Bila MK melakukan pengujian formil dan memberi putusan pengabulan pengujian formil, hal demikian menurut Arsul Sani bisa menimbulkan persoalan. “Ini pertanyaan secara tertib ketatanegaraan benar atau tidak?”, ujarnya. Meski putusan yang ada saat ini memberi kemanfaatan, memenuhi harapan masyarakat, namun ditegaskan kita harus kritis pada MK. “Meski putusan baik memenuhi harapan publik tetapi dari sistem dan struktur ketetanegaraan agak melenceng”, ungkapnya.

Bila ingin MK memiliki kewenangan uji formil menurut Arsul Sani perlu dilakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945 terkait masalah MK.

Anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo SE., MH., dalam kesempatan tersebut  mengatakan apapun yang diputuskan oleh MK harus kita terima. “Ibarat pil meski pahit harus kita telan demi kesehatan”, ungkapnya. Meski demikian apa yang diputuskan oleh MK tidak boleh ditafsirkan macam-macam.

Diakui saat ini adanya kegelisahan dari investor terkait putusan tersebut. Merespon hal yang demikian, Firman Soebagyo mengatakan bahwa undang-undang yang ada masih berlaku sampai adanya perbaikan. “MK tak membatalkan pasal-pasal tetapi hanya perlu penyempurnaan”, tuturnya.

Prof. Dr. Juanda SH., MH., pakar hukum tata negara yang hadir dalam diskusi tersebut menyebut putusan MK putusan yang aneh, bingung, dan tak konsisten dengan prinsip-prinsip negara hukum. “Putusan yang diambil tidak bulat, buktinya ada pendapat berbeda atau dissenting opinion di antara para hakim”, ungkapnya. Kemudian bila diputuskan tak memenuhi syarat formil, Undang-Undang Cipta Kerja seharusnya tidak berlaku. 


Anggota Terkait :

Dr. H. ARSUL SANI , S.H, M.Si. Pr.M