image

Pemenuhan Gizi Anak Harus Diwujudkan dengan Gerak Bersama

Rabu, 24 Januari 2024 21:23 WIB

Wujudkan pemenuhan gizi anak bangsa melalui gerak bersama-sama dengan perencanaan yang matang dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa datang.

"Anak usia di bawah lima tahun yang mengalami kekurangan gizi di Indonesia masih cukup tinggi. Padahal, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan bahwa kesehatan warga negara merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Dampak Gizi Buruk Terhadap Kecerdasan Anak Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/1).

Diskusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama (Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI – Direktur WHO SEARO /World Health Organization South East Asia Regional Office 2018-2020) dan
dr. Rivani Noor, MKM (Administrator Kesehatan Ahli Muda pada Tim Kerja Kesehatan Balita dan Anak Pra Sekolah, Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI), sebagai narasumber.

Selain itu, hadir pula Velofa Theresia Sihombing (CFO 1000 Days Fund) dan Indrastuti (Wartawan Media Indonesia Bidang Kesehatan) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, stunting sebagai persoalan  kesehatan ibu dan gizi anak merupakan permasalahan yang kompleks berkaitan dengan kemiskinan ekstrem yang mesti dicegah secara bersama-sama.

Rerie, sapaan akrab Lestari mengungkapkan tahun 2045 untuk menyambut Indonesia Emas merupakan waktu yang singkat untuk menciptakan generasi yang unggul seperti yang dicita-citakan.

Komitmen Indonesia sesuai agenda PBB terkait tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) kedua yaitu zero hunger, tambah dia, adalah menekan angka prevalensi stunting hingga mencapai angka 14% pada tahun 2024.

Diakui Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, penurunan angka prevalensi stunting sangat dipengaruhi oleh penurunan angka kemiskinan ekstrem yang ditargetkan mencapai 0% pada 2024.

Sejak 2018, tambah Rerie, Pemerintah telah menetapkan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018 – 2024 melalui Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia.

Penyelesaian stunting, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, kini berhadapan dengan realita belum tuntasnya penyelesaian masalah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Rerie menegaskan kerja bersama secara terukur untuk menyelesaikan ragam masalah sosial yang dihadapi masyarakat harus segera dilakukan dalam upaya mewujudkan generasi penerus bangsa yang berdaya saing di masa depan.

Direktur WHO SEARO 2018-2020, Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan bahwa sebenarnya gangguan gizi itu bukan hanya stunting, tetapi wasting (gizi kurang atau gizi buruk, yaitu proporsi berat badan anak terhadap tinggi badannya sangat kurang) dan overweight (kelebihan berat badan).

Stunting, menurut Tjandra, tinggi dan berat badan balita yang tidak sesuai dan berlangsung berkepanjangan.

Sehingga, tambah dia, aspek yang mempengaruhi terjadinya stunting juga terkait dengan kondisi sosial ekonomi bangsa dalam memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan masyarakat yang lebih baik.

Menurut Tjandra, stunting bisa membuat anak tidak bisa mencapai potensi diri yang seharusnya dimiliki, sehingga dampaknya dirasakan sepanjang hidupnya dan menjadi masalah yang tidak sederhana.

Tjandra mengungkapkan catatan WHO menyebutkan pada 2014 terdapat 162 juta anak di dunia mengalami stunting. Target dari lembaga kesehatan dunia itu, tambah dia, terjadi pengurangan sebesar 40% anak stunting pada 2025.

Menurut Tjandra, pada 2020 WHO mencatat jumlah anak penderita stunting 159 juta dan pada 2022 tercatat 148,1 juta anak stunting. Diakuinya jumlah anak stunting di dunia cenderung menurun, tetapi tren tersebut diperkirakan belum mampu mengejar target penurunan 40%.

Tjandra berpendapat, bila di Indonesia menargetkan angka stunting 14% pada 2024 membutuhkan upaya yang luar biasa untuk mewujudkan.

Memperkuat upaya intervensi dengan implementasi yang nyata, jelas Tjandra, merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan.

Selain itu, tambah dia, secara umum juga dibutuhkan upaya peningkatan kualitas pendidikan, pemberdayaan ekonomi keluarga, peningkatan kualitas sanitasi dan kualitas asupan pangan masyarakat.

Administrator Kesehatan Ahli Muda pada Tim Kerja Kesehatan Balita dan Anak Pra Sekolah, Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI, Rivani Noor mengungkapkan, angka stunting di Indonesia juga cenderung turun.

Pada 2021, ujar Rivani, tercatat prevalensi stunting di Indonesia 24,4% dan pada 2022 prevalensi stunting 21,6%. Dia berharap, target prevalensi stunting yang ditetapkan pemerintah pada tahun ini dapat tercapai.

Menurut Rivani sejumlah upaya intervensi harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi stunting di masa sebelum kelahiran antara lain dengan skrining anemia, konsumsi tablet tambah darah bagi calon ibu.

Selain itu, tambah, Rivani, sejumlah asupan bergizi pada 1000 hari pertama usia bayi, seperti meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan keragaman makanan pengganti ASI, harus konsisten diberikan.

Karena, jelas Rivani, stunting pada usia bayi 24 bulan akan mempengaruhi kemampuan kognitif anak saat usia 8 tahun, 9 tahun dan 11 tahun.

Sehingga upaya memantau tumbuh kembang balita secara rutin, ujar dia, merupakan langkah yang penting. Bila terdeteksi ada tumbuh kembang balita yang tidak sesuai dengan standar, jelas Rivani, harap segera dibawa ke tenaga kesehatan.

Menurut dia, langkah strategis pencegahan terjadinya masalah gizi pada balita adalah dengan menjamin kesehatan ibu hamil, pemenuhan gizi balita, deteksi dini masalah gizi dan penatalaksanaan yang tepat bila terjadi masalah gizi.

Chief Financial Officer 1000 Days Fund, Velofa Theresia Sihombing mengungkapkan, upaya pencegahan stunting di lapangan tidak semudah yang dibayangkan.

Pemantauan kesehatan balita dengan menggunakan buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) misalnya, menurut Velofa, semestinya bisa dimaksimalkan.

Karena, ujar dia, banyak informasi terkait pengetahuan tentang pemenuhan gizi balita, berbagai sumber pangan bergizi dan terpenting adalah kurva pertumbuhan balita sebagai kelengkapan catatan pemantauan kesehatan balita.

Namun, tambah Velofa, sangat disayangkan saat pemeriksaan kesehatan balita sejumlah ibu tidak membawa buku KIA, sehingga seringkali catatan kesehatan balita tidak lengkap.

Wartawan Media Indonesia Bidang Kesehatan, Indrastuti berpendapat selain angka prevalensi stunting, angka prevalensi wasting dan overweight (kelebihan berat badan) di Indonesia juga harus diperhatikan.

Indrastuti menduga ada sejumlah pemerintah daerah yang kurang memahami pentingnya fungsi parameter kecukupan gizi anak tersebut.

Pasalnya, menurut dia, ada sejumlah daerah yang catatan angka prevalensi stuntingnya turun drastis di luar kewajaran.

Meski begitu, dia pun berharap para pemangku kepentingan juga mencermati sejumlah daerah yang sukses menurunkan angka prevalensi stunting, agar kesuksesan yang sama bisa direalisasikan di daerah-daerah lainnya.*


Anggota Terkait :

Dr. LESTARI MOERDIJAT S.S., M.M.