image

Pemilu 2024 Sebagai Momentum Konsolidasi Demokrasi

Kamis, 08 Juni 2023 14:28 WIB

Oleh: Dr. H. Jazilul Fawiad, S.Q., M.A., Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Periode 2019-2024

Konsolidasi demokrasi merupakan bagian integral dari ikhtiar mewujudkan Indonesia yang demokratis. Proses ini berjalan tidak mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama sejak tahap inisiasi demokrasi dijalankan pada 1999 yang lalu atau setahun pasca meletusnya gerakan reformasi. Harus diakui, masih ada ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) terhadap proses yang berjalan, baik secara struktural maupun kultural politik. Namun upaya-upaya demokratisasi juga tak kalah masif dilakukan oleh segenap elemen bangsa, baik oleh pemerintah, legislatif, yudikatif, maupun unsur-unsur masyarakat yang pro- demokrasi. Pemilu 2024 yang akan berlangsung tak lama lagi, selain diharapkan menjadi pesta demokrasi bagi rakyat, juga diharapkan menjadi momentum penguatan konsolidasi demokrasi yang saat ini sedang bergulir.

Tahap demokrasi

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), objektif yang hendak dicapai oleh pemerintah dari demokratisasi yang saat ini berjalan adalah terwujudnya demokrasi matang pada 2029. Untuk mewujudkan target tersebut, ada pembabakan yang harus dilalui, terhitung sejak 1999 atau Pemilu pasca reformasi pertama kali. Pembabakan ini mencakupi tahap inisiasi, instalasi, konsolidasi demokrasi, hingga tercapainya objektif demokrasi matang. Ada satu hal yang menarik untuk dicermati dari setiap pembabakan tersebut, yakni eksistensi Pemilu sebagai elemen kunci demokratisasi. Tahap inisiasi dimulai ketika diselenggarakan Pemilu 1999 yang dianggap sebagai Pemilu pertama pasca reformasi. Tahap instalasi berjalan melalui penyelenggaraan Pilpres secara langsung pertama kalinya oleh rakyat pada 2004 yang berlanjut hingga saat ini.
Bagaimana Pemilu bisa menempati posisi vital dalam tahapan demokratisasi tersebut? Pertanyaan ini cukup krusial untuk dijawab. Pemilu merupakan instrumen utama demokrasi yang memainkan peran sebagai alat sirkulasi elit dan kepemimpinan, sekaligus medium aktualisasi hak dan kewajiban politik seluruh warga negara. Dalam gerak laju pelaksanaan Pemilu, apa yang menjadi prinsip universal demokrasi menemukan momentum aktualisasinya; daulat rakyat, hak asasi manusia, kebebasan sipil, serta musyawarah mufakat. Pada tahap inisiasi yang dimulai tahun 1999, Pemilu secara bertahap memasuki periode pelaksanaan substansial, tidak sekedar prosedural dan seremonial belaka. Muncul banyak partai politik yang berpartisipasi yang linear dengan banyaknya figur yang dicalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden. Visi misi dan program kerja para calon juga merepresentasikan ideologi partai politik yang mengusung, serta apa yang menjadi kebutuhan masyarakat pada masa itu. Yang tak kalah penting adalah dibentuknya Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 1999 untuk memastikan bahwa Pemilu belangsung secara demokratis. Esensi Pemilu pada tahap inisiasi tersebut ada dua; perbaikan Pemilu secara struktural dan kelembagaan politik, serta munculnya komitmen penyelenggaraan secara sistematis dan demokratis. Situasi dan kondisi sedemikian tidak kita temukan di era sebelumnya yang penuh tekanan dan manipulasi politik demi kepentingan rezim yang berkuasa. Pemilu alih-alih menjadi ajang sirkulasi elit, melainkan sarana untuk menciptakan stagnasi kepemimpinan pada satu nama dan satu rezim. Esensialisme Pemilu mengalami penguatan pada tahap instalasi ketika Pilpres langsung digelar pertama kali pada 2004. Progresivitas ini tercermin dari meningkatnya jumlah partai politik yang berpartisipasi, keberagaman ideologi yang diusung, partisipasi politik masyarakat yang meningkat, adanya aktivitas formulasi regulasi untuk Pemilu di legislatif, munculnya mekanisme pengkubuan politik untuk kandidasi calon presiden (baca: koalisi) yang menjadi warna baru dalam sistem presidensial, munculnya lembaga riset dan survei Pemilu, hingga menjamurnya masyarakat sipil sebagai mekanisme penyeimbang pemerintah. Pada tahap ini, Pemilu benar-benar menjadi instrumen bagi penguatan demokrasi secara struktural dan kelembagaan.

Tantangan konsolidasi demokrasi

Sirkumstansi yang ada pada tahap konsolidasi demokrasi tentu berbeda dengan dua tahapan sebelumnya. Pada tahap konsolidasi demokrasi, muncul berbagai kompleksitas yang hadir sebagai konsekuensi dinamika politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat. Tahapan ini juga diproyeksi akan berlangsung panjang, yakni sejak 2014 hingga 2029 atau membutuhkan waktu sedikitnya 15 tahun. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa proses pada konsolidasi demokrasi berjalan tidak mudah dan memiliki hambatan yang tidak sedikit? Hal ini dapat dijawab dari definisi yang melekat pada konsolidasi demokrasi itu sendiri. Larry Diamond dalam bukunya yang berjudul Developing Democracy toward Consolidation (1999) menyatakan konsolidasi demokrasi sebagai upaya untuk memelihara stabilitas dan persistensi demokrasi. Konsolidasi demokrasi juga dimaknai sebagai upaya yag dilakukan secara berkesinambungan untuk mencapai rekognisi dan legitimasi secara kuat dari seluruh aktor politik, baik di tingkat elit maupun akar rumput, bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dan sistem politik yang paling tepat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Dengan merujuk pada pemahaman tersebut, konsolidasi akan berjalan mulus apabila ada komitmen, konsistensi, dan kesinambungan proses yang diyakini dan dimiliki oleh seluruh aktor politik yang ada. Ini tentu tidak mudah karena politik secara logika lebih sering dimaknai sebagai seni kepentingan dan kekuasaan, alih- alih untuk kemaslahatan rakyat, bangsa, dan negara. Ada banyak potret sederhana bagaimana konsolidasi demokrasi kerap tersendat pelaksanaannya. Otonomi daerah

ternyata belum seratus persen menyejahterakan rakyat, Pilkada langsung menghasilkan kepala daerah yang sering tersandung kasus korupsi, birokrasi masih gemuk dan lamban dalam melayani masyarakat, serta masyarakat sendiri yang terjerat dengan apatisme politik yang ditunjukkan oleh masih banyaknya golput dalam setiap perhelatan Pemilu. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Ada indikator kuantitatif untuk melihat dampak nyata demokrasi dalam bentuk kualitas pembangunan manusia, persepsi korupsi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan, daya saing global, dan masih banyak lagi. Kondisi hari ini, semua indikator tersebut masih dalam kategori butuh penguatan dan improvisasi agar lebih optimal. Dalam studi yang dilakukan oleh Lemhannas RI mengenai konsolidasi demokrasi, ada 4 rumpun permasalahan utama dari proses yang sedang berjalan, yakni budaya politik, regulasi atau peraturan perundang- undangan, kapasitas kelembagaan, serta adaptasi teknologi. Pemilu 2024 sebagai momentum Pemilu 2024 sudah di depan mata. Tahun 2024 akan menjadi Pemilu keenam di era pasca reformasi atau Pemilu kelima yang dijalankan secara langsung dengan rakyat sebagai direct voters. Pemilu 2024 diharapkan sekaligus diproyeksikan sebagai momentum untuk menuntaskan transisi demokrasi Indonesia menuju demokrasi matang di seluruh lapisan struktur politik nasional. Proyeksi ini tidak bersifat mutlak, namun arah keberhasilannya cukup menjanjikan. Gelaran Pilpres sebelumnya, khususnya Pilpres 2014 dan 2019, menjadi lesson learned bagi para penyelenggara Pemilu untuk lebih menguatkan kapasitasnya, baik dalam penyelenggaraan dan pengawasan. Partai politik sebagai pilar demokrasi juga berkomitmen untuk menyuguhkan kompetisi yang lebih bergairah dengan menyuguhkan banyak pilihan dan calon dalam bursa capres cawapres, sekaligus kandidat legislatif yang tidak hanya populer dan memiliki elektabilitas, tapi juga berkapasitas dalam menerjemahkan apa yang manjadi kemauan dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat juga semakin teredukasi secara politik untuk melaksanakan hak politiknya dalam Pemilu yang diharapkan akan berkorelasi dengan meningkatnya partisipasi politik masyarakat.

Selain peluang-peluang penguatan konsolidasi demokrasi di atas, ada juga ancaman-ancaman yang harus dicermati. Ada banyak pakem Pemilu yang berjalan namun dalam kondisi diperdebatkan, yakni persoalan ambang batas pencalonan presiden, rezim keserentakan, termasuk isu proporsional tertutup dan terbuka yang saat ini masih dalam proses di MK. Persoalan-persoalan tersebut selayaknya ditimbang dalam kacamata konstitusi dan demokrasi agar pilihan-pilihan keputusan yang diambil tidak mencederai konsolidasi demokrasi yang telah berjalan. Peletakan konstitusi sebagai dasar keputusan merupakan hal wajib yang harus dilakukan agar pilihan keputusan yang diambil bersifat konstitusional dan memiliki fondasi hukum yang kuat. Sedangkan dalam kacamata demokrasi, persoalan yang ada diharapkan tidak menabrak prinsip-prinsip yang berlaku, utamanya daulat rakyat sebagai esensi utama demokrasi. Kita semua berharap, Pemilu 2024 akan menjadi momentum yang pas bagi konsolidasi demokrasi menuju demokrasi yang paripurna; negara demokratis sesuai amanat reformasi.
 


Anggota Terkait :

Dr. H. JAZILUL FAWAID, SQ., M.A.