image

Praktik TPPO Berkelanjutan Berpotensi Ganggu Kedaulatan Negara

Rabu, 22 Mei 2024 18:30 WIB

Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) harus segera ditangani secara serius, karena merupakan praktik perbudakan modern yang bila dibiarkan berpotensi mengganggu kedaulatan negara.

"Sejumlah diskusi dan kajian menghasilkan sejumlah rekomendasi dan tindakan untuk mengatasi praktik TPPO yang sudah berlangsung lama hingga kini. Penanganan serius harus segera dilakukan, jangan sampai praktik perbudakan di era global ini mengganggu kedaulatan negara," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Darurat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Pertengahan 2024 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (22/5).

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoetri, S.H, LL.M (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Irjen Pol. Drs. I Ketut Suardana M.Si
(Deputi Penempatan & Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah, Badan Perlindungan Pekerja Migran /BP2MI), Kombes Pol. Bagus Setiyawan, S.H., SIK, M.H (Direktur Reserse Kriminal Khusus, Polda Sulawesi Tengah), Wahyu Susilo (Direktur Eksekutif Migrant CARE) dan
Yahdi Basma, S.H (Aktivis demokrasi dan kemanusiaan Pasila /Palu, Sigi dan Donggala) sebagai narasumber.

Selain itu hadir pula Eva Kusuma Sundari (Direktur Sarinah Institute) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, praktik TPPO yang terus terjadi menimbulkan kekhawatiran, karena bukan semata jual beli orang, tetapi sudah melanggar hak-hak kemanusiaan.

Bila mekanisme perlindungan tidak direalisasikan secara tegas dan menyeluruh, ujar dia, akan muncul seolah-olah terjadi mekanisme pembiaran.

Padahal, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, salah satu tugas negara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Perlidungan tersebut, tegas Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, mencakup perlindungan menyeluruh, yang bisa diwujudkan dengan kepastian perlindungan hukum.

Pada kenyataannya, tambah Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, setiap tahun selalu saja terungkap kasus TPPO dengan berbagai rupa dan modus yang berbeda.

Rerie sangat berharap para pemangku kepentingan di pusat dan daerah secara bersama serius melihat permasalahan secara lebih jernih dalam mewujudkan perlindungan menyeluruh bagi setiap warga negara dari jeratan praktik TPPO.

Direktur Reserse Kriminal Khusus, Polda Sulawesi Tengah, Kombes Pol. Bagus Setiyawan, S.H., SIK, M.H mengungkapkan dalam penanganan TPPO pihaknya memiliki komitmen yang tinggi.

Menurut Bagus dalam penanganan sejumlah kasus TPPO itu beberapa modus operasi terungkap yaitu antara lain rekrutmen pekerja migran Indonesia, dijanjikan bekerja di luar negeri untuk dijadikan pekerja seks komersial dan eksploitasi anak di bawah umur dengan dokumen palsu.

Meski begitu Bagus mengakui dalam proses penanganan sejumlah kasus TPPO kerap menghadapi beberapa kendala.

Antara lain, ungkap dia, korban TPPO kerap enggan melapor dan saksi pada kasus TPPO tidak datang karena sudah pindah.

Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo berpendapat isu TPPO saat ini sudah mengkhawatirkan.

Diakui Wahyu, sudah sejak lama Indonesia masuk dalam darurat trafficking dan saat ini muncul dengan modus baru.

Menurut Wahyu, modus lama kasus TPPO disamarkan dengan perekrutan dan penempatan pekerja migran di sektor pekerja rumah tangga, pekerja perkebunan dan anak buah kapal.

Pada tiga sektor tersebut, ungkap dia, Indonesia sangat rentan terhadap praktik-praktik TPPO. Kondisi tersebut diperburuk dengan kondisi ketenagakerjaan nasional yang kurang berkembang secara kualitas. "Tata kelola ketenagakerjaan kita belum human rights based approach," ujarnya.

Modus operandi baru dalam praktik TPPO, menurut Wahyu, didorong oleh kondisi pengangguran yang meningkat dipicu dampak pandemi.

Kondisi lapar kerja itu, tegas dia, dimanfaatkan sindikat untuk merekrut tenaga kerja ke luar negeri dengan informasi yang tidak jelas.

Bahkan, tambah Wahyu, saat ini orang muda juga menjadi sasaran sindikat perdagangan orang yang memanfaatkan sektor digital seperti scaming dan judi online.

Menurut Wahyu, ketika anak muda, sarjana yang tinggal di perkotaan dan dari keluarga kelas menengah menjadi sasaran sindikat perdagangan orang, kondisi ini sangat mengkhawatirkan.

Karena, tegas dia, generasi muda kita saat ini menjadi tumpuan harapan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Deputi Penempatan & Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah, BP2MI, I Ketut Suardana mengungkapkan, sejatinya BP2MI bekerja berdasarkan amanat UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Sejumlah peraturan yang menjadi turunan UU No.18/2017 itu, jelas Ketut Suardana, juga sudah menegaskan tugas dan wewenang sejumlah pihak dalam proses perlindungan pekerja migran Indonesia,  serta kelengkapan persyaratan dalam proses menjadi pekerja migran.

Tentu saja, ujar dia, dalam upaya perlindungan dan pengawasan tersebut BP2MI memerlukan dukungan semua pihak.

Diakui Ketut Suardana, pihaknya selalu berupaya mempersiapkan calon pekerja migran Indonesia  memiliki kompetensi yang memadai untuk siap bekerja di luar negeri.

Dalam menjalankan perannya, Ketut Suardana mengungkapkan, BP2MI memiliki sejumlah program prioritas antara lain pemberantasan sindikat pekerja migran, penguatan kelembagaan dan reformasi birokrasi, menjadikan pekerja migran Indonesia menjadi VVIP, memodernisasi sistem pendataan dan meningkatkan sinergi dengan sejumlah pihak terkait.

Saat ini, menurut Ketut Suardana, terdapat sekitar 9 juta pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, tetapi yang tercatat di sistem BP2MI hanya 4,99 juta orang. Selebihnya, tambah dia, diduga berangkat secara ilegal.

Pada kesempatan itu aktivis demokrasi dan kemanusiaan Palu, Sigi dan Donggala, Yahdi Basma menceritakan pengalamannya saat menggagalkan praktik TPPO yang akan memberangkatkan calon pekerja ke Timur Tengah.

Diakui Yahdi, orang dekat para korban, teman sekampungnya, sangat berperan dalam proses rekrutmen calon pekerja dengan iming-iming pendapatan Rp8 juta per bulan di Saudi Arabia.

Para korban yang berasal dari Palu, Sulawesi Tengah itu, menurut Yahdi, sudah sempat dibawa ke Jakarta lalu dibawa ke tempat penampungan di Surabaya, Jawa Timur.

Di lokasi penampungan itu, ungkap dia, para korban dari Palu itu mulai menyadari bahwa keberangkatan mereka ke Saudi Arabia bermasalah.

Dalam pemulangan para korban itu ke kampung halaman mereka, jelas Yahdi, terlihat belum ada aturan dan koordinasi yang jelas antar sejumlah pihak, sehingga prosesnya rumit.

Berdasarkan pengalaman pada kasus tersebut, Yahdi menduga, ada keterlibatan sejumlah pihak pada bagian keberangkatan di bandara, karena dokumen perjalanan yang dipakai para calon pekerja migran itu ilegal.

Yahdi sangat berharap ada aturan turunan terkait perlindungan pekerja migran Indonesia hingga tingkat provinsi dan kota, agar proses perlindungan dapat dilakukan secara menyeluruh.

Sementara itu, Direktur Sarinah Institute, Eva Kusuma Sundari mendorong agar ada tindak lanjut yang jelas terhadap kasus-kasus TPPO yang terungkap saat ini.

Di sisi lain, Eva protes mengapa yang ditangani  dan diutamakan aparat adalah kasus-kasus TPPO di luar negeri.

Padahal, tegas dia, kasus perdagangan orang juga terjadi di dalam negeri dan marak dialami para pekerja rumah tangga.

Di dalam draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), tegas Eva, sejatinya ada sejumlah pasal yang mewajibkan para penyedia kerja untuk memberikan perlindungan terhadap para pekerja.

Sehingga, ujar Eva, bila RUU PPRT yang sekarang pembahasannya terhambat oleh pimpinan DPR, bisa segera dituntaskan menjadi undang-undang, masalah perlindungan pekerja migran Indonesia bisa segera diatasi.

Eva menilai saat ini ada problem pada komitmen politik yang rendah dalam mengupayakan perlindungan para pekerja migran dan berharap Kepolisian dan BP2MI segera merekomendasikan percepatan pembahasan RUU PPRT untuk menjadi undang-undang. *


Anggota Terkait :

Dr. LESTARI MOERDIJAT S.S., M.M.