image

Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan: Perbaiki tata kelola APBN & subsidi solusi menghadapi gejolak minyak dunia

Kamis, 13 Oktober 2022 13:55 WIB

Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan meminta pemerintah melakukan langkah antisipasi dan mitigasi atas keputusan negara-negara eksportir minyak (OPEC+) yang memangkas produksi minyak global sebanyak 2 juta barel/hari mulai November 2022. Keputusan ini tentu akan berdampak terhadap tingginya harga minyak sehingga berimbas pada ketahanan energi di berbagai negara, salah satunya Indonesia. Sebagai negara net importir, pemangkasan produksi ini akan menekan neraca perdagangan disebabkan tingginya impor minyak. Dengan kebutuhan domestik yang tinggi, gejolak minyak global akan mempengaruhi pasokan dan harga BBM.

“Ini perlu menjadi perhatian bersama. Defisit minyak yang tinggi membuat kita sangat rentan dengan gejolak di tingkat global. Dengan keputusan OPEC+ memangkas produksi minyak, maka pasokan minyak global berkurang, sehingga harga akan tinggi. Akibatnya harga komoditas energi melonjak dan mengerek inflasi. Bagi Indonesia, dampaknya sangat terasa sebab kebutuhan impor minyak masih sangat tinggi. Saya kita pemerintah harus berpikir keras untuk mencarikan solusi,” ungkap Politisi Senior Partai Demokrat ini.

Menurut Profesor di bidang Strategi Manajemen Koperasi dan UKM ini, kenaikan harga minyak dunia akan menekan ruang fiskal. Asumsi harga minyak US$ 90/barel pada APBN 2023 dapat meleset dan alokasi subsidi BBM akan membengkak. Defisit fiskal melebar, dan utang sangat mungkin bertambah. Bagi rakyat, harga-harga melambung tinggi dan daya beli melemah. Dalam konteks yang lebih luas, ekonomi domestik akan ikut terguncang. Jika sudah begini, lagi-lagi pengangguran dan kemiskinan meningkat.

Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini melihat tingginya ketergantungan Indonesia pada pasokan minyak dunia akan terus menghantui ketahanan energi nasional. Di tengah ketidakpastian global, perang Rusia-Ukraina, melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, serta dinamika geopolitik kawasan di Asia Timur, tekanan pada ekonomi Indonesia akan sangat terasa. Persoalan energi ternyata perkara mendasar bagi perekonomian Indonesia. Maka jalan terbaik memang hanyalah menggenjot produksi minyak dalam negeri.

Namun, lanjut Syarief, langkah jangka pendek yang mesti dilakukan adalah memperbaiki tata kelola alokasi dan distribusi subsidi. Kementerian Keuangan (2022) mencatat sebanyak 80 persen atau Rp 64,3 triliun alokasi pertalite dan 95 persen atau Rp 15 triliun solar dinikmati oleh kalangan ekonomi mampu. Artinya, perkara BBM bersubsidi ini punya dua masalah, yakni rentannya ketahanan energi dan buruknya tata kelola. Ini semestinya menjadi otokritik pemerintah, bahwa kinerja penyaluran BBM bersubsidi sangat lemah.  

“Secara jangka panjang, investasi hulu migas harus diatensi dan dieksekusi sesegera mungkin. Berbagai hambatan yang ada mesti diurai, kendala perizinan mesti dibereskan, insentif fiskal dan nonfiskal harus menjadi prioritas. Kita harus memperhatikan kemandirian energi nasional, bergantung pada kemampuan diri sendiri. Ini memang tidak mudah, namun harus diseriusi untuk kepentingan ekonomi jangka panjang. Defisit minyak yang berdampak pada melebarnya defisit fiskal akan terus menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan berikutnya jika tidak ada langkah nyata, terarah, dan berkelanjutan dalam mendongkrak produksi domestik,” tutup Syarief.


Anggota Terkait :

Prof. Dr. H. SJARIFUDDIN HASAN, M.M, M.B.A.