image

Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid: Alquran dan Negara Tidak Boleh Dipertentangkan

Minggu, 27 Juni 2021 12:54 WIB

 

JAKARTA – Perdebatan mana yang lebih penting antara alquran dan negara atau Alquran dan Pancasila masih sering muncul di kalangan sekelompok masyarakat. Padahal, Alquran dan agama adalah dua hal yang tidak boleh dipertentangkan.

Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengatakan, terkadang oleh Sebagian kelompok masyarakat bahkan oleh beberapa negara dua hal ini masih dipertentangkan. ”Alhamdulillah di Indonesia ini menjadi rujukan dunia bahwa problem agama atau Alquran dengan negara sudah tuntas. Jadi menjadi warga negara Indonesia itu sekaligus warga negara yang beragama. Hal itu termaktub dalam sila pertama Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya bangsa ini bangsa yang berketuhanan. Jadi tidak boleh orang yang tidak berketuhanan di Indonesia,” ujar Jazilul Fawaid saat memberikan Pembekalan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta dengan materi Wawasan Kebangsaan bertema Alquran, Perempuan dan Moderasi Bergama di Era Wabah secara virtual, Jumat (25/6/2021).


Dikatakan Gus Jazil–sapaan akrab Jazilul Fawaid–syarat utama bagi warga negara Indonesia adalah mereka yang berketuhanan Yang Maha Esa. Sebab, para founding father bangsa dan fakta sejarah menunjukkan bahwa bangsa ini dilahirklan atas semangat Ketuhanan Yang Maha Esa. ”Atas semangat agama sehingga kita menjadi bangsa yang beragama, meskipun agama-agama di Indonesia tidak hanya Islam, tapi mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam dan terbanyak di dunia. Makanya kalau sering dipertanyakan pilih mana Alquran atau Pancasila, itu sesungguhnya pertanyaan yang menjebak dan tidak logis karena antara Alquran dan Pancasila bukan masing-masing, tapi mereka menjadi satu kesatuan,” tutur lulusan Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta ini.

Gus JAzil mengatakan, pemahaman tersebut menjadi sangat penting karena satu kesatuan ini merupakan wujud pengharagaan keberagaman yang ada di Indonesia, baik keberagaman suku bangsa, adat istiadat, agama, dan budaya yang diikat dalam semboyan nasional Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda, beragam tetapi tetap satu. ”Dan ini yang menjadi peguat. Tanpa persatuan, kita tidak akan mampu membangun, tidak mampu mencapai kemajuan. Kita melihat  hari ini di berbagai belahan dunia, Islam mengalami kontraksi atau konflik antara agama dengan negara. Di Libya, Yaman, Arab Saudi, termasuk Afghanistan, itu terjadi konflik karena mereka belum selesai menempatkan posisi agama, posisi Alquran dan posisi negara, masih dianggap berbeda padahal ini adalah satu kesatuan. Agama dan Alquran bukan penghalang pembangunan negara, tetapi Alquran dan agama menjadi faktor penguat bagi pembangunan negara. Ini menjadi penting,” paparnya.

Kedua, soal problem laki-laki dan perempuan, di Indonesia sudah mendapatkan posisi yang sama dan seimbang. Termasuk turunnya agama Islam adalah memberikan kemuliaan terhadap derajat perempuan. ”Kita bisa melihat dari sejarah sebelum lahirnya Islam, perempuan mendapatkan diskriminasi dan Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan. Padahal perempuan adalah tiang negara. Kalau perempuan rusak maka negaranya rusak. Ibu adalah madrosatul ula, pendidik pertama makanya posisi IIQ Jakarta yang mencetak para ulama perempuan menjadi sangat penting sekaligus cerminan, apakah perempuan Indonesia adalah perempuan yang baik atau tidak,” katanya.

Ketiga, problem cara berfikir yang skriptualis, radilakalis atau intoleran dengan cara berfikir kontekstualis moderat dan berfikir yang lebih rasional. Dalam sejarah, kata Gus Jazil, pernah terjadi fitnah besar hingga terjadi peperangan antar umat Islam di zaman Muawiyah dan Sayyidina Ali, kemudian melahirkan pemikir skriptualis atau aliran Khawarij. Mereka adalah pemeluk agama yang tangguh, tetapi pemikirannya merasa benar sendiri. ”Kelompok di luar dirinya adalah kelompok yang salah. Jika kita menemui golongan atau kelompok yang cara berfikirnya merasa benar sendiri dan menyalahkan yang lain, itu ciri-ciri kelompok skriptualis yang nanti indikasinya dia intoleran. Dia tidak bisa menerima kebenaran di luar dirinya. Dia merasa benar sendiri. Ini yang menjadi akar persoalan sementara agama termasuk Islam disebut agama yang lurus dan toleran,” katanya.

Menurut Gus Jazil, agama itu membuat aturan, menghilangkan kerancuan dan ketidakteraturan. Islam itu adalah aturan dan bernegara adalah bagian dari mengatur agar hidup manusia tertib di dalam satu kawasan. ”Ini yang disebut negara atau konstitusi. Kita sudah menyepakati bangsa ini adalah NKRI yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD sebagai landasan konstitusional. Ini yang harus menjadi pegagan. Jika Pancasila, UUD 1945, NKRI dipertentangkan dengan semangat agama maka pikiran itu yang nanti akan membatalkan satu perjanjian kenegaraan. Itu akan merongrong semangat kebersamaan selaku warna negara,” katanya. (*)


Anggota Terkait :

Dr. H. JAZILUL FAWAID, SQ., M.A.