image

DEMOKRASI PANCASILA: Demokrasi yang tidak Mengenal istilah Oposisi

Sabtu, 29 Juni 2019 14:29 WIB

Oleh : IR.HM.IDRIS LAENA, MH

SEKRETARIS FRAKSI GOLKAR MPR RI

Terus Terang, tulisan ini saya buat karena sering kali merasa terganggu mendengar istilah, &singlequote;OPOSISI’ yang diucapkan oleh Para Pengamat, Politisi dan bahkan oleh Pakar Hukum sekalipun. Yang menurut hemat saya tidak tepat.

Pancasila Sebagai Dasar Negara, kita akui sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, telah menjelaskan dengan gamblang melalui Sila ke empat :
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan” yang bermakna, bahwa semua proses pengambilan kebijakan, selalu mengedepankan Musyawarah untuk Mufakat. Dan jika musyawarah tidak tercapai barulah opsi pengambilan keputusan diambil melalui voting oleh perwakilan yang ada di Legislatif.

Karena itulah, maka selama Orde baru praktek ini dilaksanakan termasuk memilih Presiden dan Menetapkan Haluan Negara, yang kita kenal dengan istilah GBHN. Sehingga Presiden disebut MANDATARIS MPR.

Namun REFORMASI pada tahun 1998, menuntut Reformasi di segala bidang, termasuk Reformasi Hukum dan Demokrasi. Presiden tidak lagi dipilih oleh Anggota MPR, Melainkan dipilih lansung oleh Rakyat.
Namun pada kenyataannya, hasil amandemen konstitusi membuat kita tidak lagi mengenal Lembaga Tertinggi Negara yaitu MPR, Namun pada hakekatnya Presiden, MPR, DPR, DPD dan (beberapa lembaga tinggi negara) memiliki kedudukan yang sama. Sehingga tidak bisa saling mengintervensi antara satu dengan yang lainnya.

Pemilihan Presiden secara Lansung oleh Rakyat, bermakna ingin memberi legitimasi yang kuat kepada Presiden dan Wapres. Namun setelah Pilpres dilaksanakan, siapapun Peserta Kontestasi, maka seyogyanya harus legowo mendukung Presiden dan Wakil Presiden terpilih, untuk dapat menjalankan Pemerintahannya selama lima tahun kedepan. Sesuai amanat yang tersirat dalam PANCASILA (khususnya Sila keempat), dan UUD NRI Tahun 1945. Karena keduanya tidak memberi ruang dan tidak mengatur tentang adanya istilah OPOSISI.

Bagaimana Fungsi Chek and Balances?

Yang jelas di Indonesia menganut system Presidential, yang berarti bahwa Presiden terpilih Meskipun dipilih oleh mayoritas rakyat, namun tetap dapat dikontrol oleh Legislatif dari Fraksi-Fraksi yang ada di Parlemen, baik yang tergabung dalam Koalisi ataupun yang tidak masuk dalam Koalisi pendukung. (Koalisi dibentuk sebagai Syarat dukungan untuk mengusung Capres/Cawapres pada PILPRES namun tidak selalu bersifat Permanen karena juga tidak diatur dalam Konstitusi).
Tetapi yang perlu di Pahami bahwa tugas Anggota legislatif sesuai amanah konstitusi yaitu, melaksanakan fungsi ,”pengawasan, penganggaran, dan legislasi”

Berdasarkan uraian diatas, saya berpendapat, bahwa jika undang-undang Pemilu dirubah, maka yang penting dipertimbangkan bahwa
Peserta kontestasi Pilpres tidak perlu hanya diikuti dua pasangan, termasuk tidak perlu diadakan dua putaran untuk menetapkan Pemenang yang mendapatkan dukungan mayoritas.Tetapi semakin banyak peserta kontestasi, maka akan lebih baik dan cukup satu putaran, yang memperoleh suara terbanyak lansung ditetapkan sebagai Presiden/Wakil Presiden terpilih.

Hal ini untuk menghindari terbelahnya masyarakat, yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan Bangsa.

Bukankah, Demokrasi PANCASILA mengajarkan bahwa Siapapun yang menang, maka yang kalah harus mengakui dan mendukung meskipun tetap dapat mengkritisi di Parlemen. Sesuai sila :”Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat, Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/Perwakilan”

JAKARTA, Sabtu 29 Juni 2019