image

HNW Kecam Pelecehan Al Quran yang Meluas di Swedia, Norwegia dan Denmark

Rabu, 02 September 2020 16:38 WIB

 

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mendukung sikap dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili Menteri Luar Negeri serta sejumlah pihak untuk mengecam tindakan intoleran kelompok ultranasionalis ekstrimis kanan di Swedia dan Norwegia yang meluas ke Denmark. Kelompok radikal kanan itu melakukan aksi penodaan dan pembakaran kitab suci Al Quran.

“Saya mendukung sikap Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, DPR RI, PBB dan Moslem World League yang menolak keras tindakan intoleran yang menodai, merobek, meludahi dan membakar Al Quran yang disucikan oleh umat beragama terbesar kedua di Eropa. Tindakan kriminal itu dilakukan oleh kelompok intoleran, radikal esktrim kanan di tiga negara Skandinavia tersebut. Sangat disesalkan peristiwa intoleran yang mengancam perdamaian ini terulang kembali, bahkan dimulai dari Swedia, negara yang sangat terkenal dengan semangat perdamaian dengan Hadiah Nobelnya itu,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (2/9/2020).

Anggota Komisi VIII DPR RI ini berharap langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia harus lebih konkret lagi dengan tetap memperhatikan kedaulatan negara. Dan memaksimalkan potensi Indonesia di PBB dan OKI. Apalagi, saat ini Duta Besar Republik Indonesia di Oslo, Norwegia, adalah salah satu tokoh senior hak asasi manusia di Indonesia, yakni Todung Mulya Lubis. “Perlu ada protes dan kritik kepada negara-negara di Skandinavia itu, juga dukungan agar mereka dapat efektif menyelesaikan masalah radikalisme ultranasionalis ini, dan mengingatkan kembali bahwa pembakaran kitab suci suatu Agama bukan kebebasan berpendapat, itu justru melanggar HAM, dan bentuk dari penodaan agama,” ujarnya.

Selain itu, HNW berharap Umat Islam tidak terprovokasi apalagi melakukan tindakan destruktif, karena bukan solusi, bisa malah menjadi bumerang. Namun, HNW juga berpendapat perlu ada desakan serius kepada Council of Europe (Majelis Eropa) yang bertanggung jawab berkaitan dengan urusan hak asasi manusia di benua Eropa. Organisasi yang memiliki 47 negara anggota tersebut – termasuk Swedia, Norwegia dan Denmark– juga perlu mengambil tanggungjawab, dan serius menolak tindakan kriminal intoleran sepertu itu, dan mencari solusi operasional terkait fenomena munculnya ultranasionalis ekstrim kareba menyuburkan sikap intoleran, radikalisme dan melanggar hak asasi manusia di Eropa, terutama yang terjadi belakangan ini di negara-negara Skandinavia.

“Indonesia bisa memprakarsai dengan mengambil peran melalui forum diskusi dengan Council of Europe di Strassbourg, Perancis untuk mencari solusi terkait penghentian fenomena yang menumbuh suburkan intoleran dan radikalisme terorisme, dan mengancam ketertiban serta kedamaian dunia seperti yang luas dipraktekkan oleh kalangan ekstrimis radikal kanan ini, karena dapat memicu konflik tidak hanya di Eropa, tetapi bisa meluas ke belahan dunia lainnya. Tindakan teror ekstrimis kanan atau para ultranasionalis itu jelas melanggar HAM orang lain juga,” ujarnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mencatat Council of Europe melalui peradilan yang dibawahinya, yakni the European Court of Human Rights (Pengadilan HAM Eropa) sebenarnya telah menerbitkan beberapa putusan pengadilan yang membela kehormatan agama. Misalnya, kasus Nyonya E.S vs Austria yang diputus pada Oktober 2018 lalu.

Dalam kasus itu, jelas HNW, Nyonya E.S. dihukum oleh pengadilan negeri Austria karena menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai pedofilia. Tidak terima dengan putusan itu, Nyonya E.S. mengadu ke Pengadilan HAM Eropa dengan argumen bahwa aturan domestik Austria yang menjerat dirinya itu bertentangan dengan Konvensi HAM Eropa.

Namun, Pengadilan HAM Eropa menolak argumen Nyonya E.S. Pengadilan HAM Eropa berpendapat bahwa menampilkan sosok yang berkaitan dengan keagamaan secara provokatif dapat menyakiti perasaan para pengikut agama tersebut. Hal itu juga dapat dianggap sebagai pelanggaran berbahaya terhadap semangat toleransi yang merupakan salah satu basis dari masyarakat demokratis.

“Kasus itu bisa menjadi rujukan kita bersama terkait hubungan HAM dan Kehormatan suatu Agama. Namun, saat ini yang perlu diselesaikan dan temukan solusinya adalah bagaimana fenomena radikalisme dan intoleran ekstrim kanan atau ultra nasionalis yang melecehkan agama di Eropa itu bisa segera dihentikan, untuk mewujudkan kehidupan toleransi dan menguatkan praktek demokrasi,” pungkasnya.