image

Memperkuat Konsistensi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945

Sabtu, 19 Agustus 2017 20:30 WIB

“Memperkuat Konsistensi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945,” itulah tema Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh MPR RI bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara – Hukum Administrasi Negara (APHTN – HAN) di TheSantoso Villas & Resort Senggigi, sebuah kawasan wisata di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu sore (19/8/2017).

Para peserta seminar  ini adalah pengurus APHTN-HAN yang datang dari seluruh daerah di Indonesia. Seminar ini menjadi menarik karena beberapa ketua lembaga negara dan mantan pejabat negara juga hadir dan menjadi narasumber. Mereka antara lain Prof. Arief Hidayat (Ketua MK), Dr. Aidil Fitriciada Azhari, SH., M.Hum (Ketua KY), Dr. Bambang Sadono, SH., MH., (Ketua Lembaga Pengkajian), Prof. Dr. John Pieris (anggota Badan Pengkajian), Prof. Amzulian Rifai (Ketua Ombudsman), Dr. Andi Mattalata (mantan Menkumham), dan Prof. Dr. Mahfu, MD selaku Ketua Umum APHTN-HAN.

Wakil Ketua MPR RI E. E. Mangindaan hadir dan membuka Seminar Nasional yang ditilik dari temanya untuk penguatan konsisten pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945. “Tema seminar nasional ini sangat menarik,” ujar Mangindaan mengawali sembutannya. Dia lalu mengupas mengenai konstitusi, sebelum sesudah perubahan, yang terjadi dalam satu rangkaian perubahan pada 1999 sampai 2002.

Sebelum perubahan, menurut Mangindaan,  UUD Tahun 1945 dalam kedudukannya sebagai sumber hukum tertinggi memiliki sifat yang supel (elastic) karena hanya memuat hal-hal pokok. Pengaturan yang lebih terinci diserahkan kepada undang-undang. Tapi, karena sifatnya supel itu, kata Mangindaan, menimbulkan berbagai penafsiran terhadap rumusan pasal-pasal yang dikandungnya. Hal itu, membuka peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaraan negara yang tak sesuai dengan UUD.

Lalu sejalan dengan tuntutan reformasi pada 1998, MPR melalui sidang-sidangnya (1999 s/d 2002) melakukan perubahan konstitusi  dalam satu rangkaian perubahan secara sistematis, holistik, dan konprehensif. Hasilnya, menurut Mangindaan, konstitusi Indonesia menjadi konstitusi yang lebih demokratis dan modern. Sebuah konstitusi yang mampu menjadi panduan dasar dalam penyelenggaraan  negara dan kehidupan berbangsa, kini dan masa datang.

Namun, kata Mangindaan, memiliki konstitusi yang demokratis dan modern tdaklah dengan sendirinya  berarti memiliki kehidupan kenegaraan dan kebangsaan yang demokratis dan modern pula. “Semua tergantung kepada sejauh mana pelaksanaan konstitusi tersebut,” uangkap Mangindaan. Dia lalu menyebut kejadian di Tanah Air belakangan ini justru menunjuk perilaku penyelenggara negara dan masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi kita.

Sementara Prof. Mahfud MD, selaku Ketua Umum APHTN-HAN, mengatakan, kerjasama dengan Badan Pengkajian MPR, para pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara akan terus memperjuangkan untuk menguatkan konsistensi pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945. Soal perubahan UUD, menurut Mahfud, kita serahkan kepada MPR. Karena hanya MPR yang bisa mengubah UUD.

Hanya saja, menurut Mahfud, setiap konstitusi itu tidak ada yang sempurna, ada baiknya dan ada pula  jeleknya. Mahfud agaknya tidak menolak adanya perubahan UUD.  Tapi, katanya lebih lanjut, dia yakin kalau hari ini UUD diubah maka esok pagi akan ada yang minta UUD diiubah lagi. Sejarah membuktikan, ucap Mahfud, dua hari setelah UUD hasil perubahan disah, sudah ada yang merobek-robek UUD hasil perubahan tersebut, karena ketidaksetujuannya dengan UUD hasil perubahan itu.

Oleh karena itu, Mahfud mengajak para anggota APHTN-HAN untuk tidak terlalu memikirkan soal perubahan UUD. Yang penting, kata Mahfud, kita  harus  terus mendorong agar pelaksanaan  UUD NRI Tahun 1945  konsisten. “Soal UUD mau diubah  kita serahkan kepada MPR,” ujarnya Mahfud.