image

Mengantisipasi Sengketa Pada Pilkada Serentak

Jumat, 31 Juli 2015 12:34 WIB

Empat tahap perubahan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selama kurun 1999-2002 sudah banyak menyunat kekuasaan yang ada pada presiden. Sebelumnya presiden memiliki enam kekuasaan penting. Yaitu kekuasaan  eksekutif, kekuasaan legislatif, yudikatif,  militer,  luar negeri dan administrasi kenegaraan. 


Namun sejak amandemen, 6 kekuasaan presiden itu mulai dipisahkan, sesuai Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Sejak itu perangkat negara pun mengalami perubahan.  Pada saat yang sama kekuasaan sosial menjadi lebih kuat dari sebelumnya, sementara kekuasaan negara malah berkurang. 


Pernyataan itu disampaikan Dr. Ali Taher Pimpinan Fraksi PAN MPR RI, saat menjadi narasumber pada acara  Seminar Nasional  di Serang Banten, pada Jumat (31/7). Seminar dengan tema Mencari Format Ideal Penanganan Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Implementasi Pelaksanaan Paham Demokrasi Konstitusional merupakan kerjasama MPR RI dengan Universitas Sultan Agung Tirtayasa (Untirta).  


Selain Ali Taher seminar tersebut juga menghadir dua narasumber yang lain. Yaitu, Drs. Syaeful Bahri MM Kepala Defisi Teknis KPU Provinsi  Banten. Serta Leo Agustino P. Hd Dosen Fisip Untirta. Turut hadir pada acara tersebut Martin Hutabarat, Pimpinan F Partai Gerindra MPR RI dan Rektor Untirta Prof Dr. sholeh Hidayat M.Pd. 


Salah satu bukti menguatnya peran sosial pasca amandemen UUD 1945 menurut Ali Taher adalah munculnya putra-putra daerah dalam bursa bakal calon kepala daerah. Juga kemampuan masyarakat dalam menentukan  pemimpinnya melalui pemilihan kepala daerah. 


"Dulu, sebelum amandemen UUD, kondisi seperti itu nyaris tidak mungkin terjadi karena kelompok sosial selalu ditekan negara, dan praktis tidak memiliki peluang untuk menyalurkan potensi pilitiknya", kata Ali Taher menambahkan.  

Sementara Drs. Syaeful Bahri MM kepala defisi teknis KPU Provinsi  Banten mengakui pelaksanaan  pilkada serentak memunculkan kemungkinan lahirnya sengketa. Bahkan,  sengketa tersebut sudah mulai tercium pada tahap pendaftaran calon kepala daerah di Komisi Pemilihan Umum. 


Menurut Syaeful pihak KPU sudah menemukan beberapa kasus yang berpotensi memunculkan sengketa. Antara lain, adanya perbedaan calon yang diusung. Terutama antara pimpinan pusat partai dengan pimpinan daerahnya. Sehingga dibeberapa daerah ditemukan, seorang calon tidak bisa memperlihatkan bukti tandatangan dan  dukungan pimpinan pusat parpol yang mengusungnya. 


"Ada sekitar lima persen dari keseluruhan pelaksanaan pilkada serentak yang berpotensi menimbulkan sengketa pada saat pendaftaran calon kepala daerah", kata Syaeful menambahkan. 


Agar pilkada serentak bisa berjalan dengan baik, Syaeful berharap tiga aktor dalam pelaksanaan pilkada harus berlaku dengan baik sesuai perundangan. Ketiganya adalah peserta, penyelenggara, dan masyarakat. 


Sedangkan Leo Agustino P. Hd berharap  MPR  melakukan sinkronisasi atas UU dan peraturan pilkada. Ini penting karena masih ada aturan dalam pemilukada yang tumpang tindih. Selain itu seluruh kontestas harus bisa bersaing secara adil dan merata.  


"Ini harus diperhatikan agar pilkada serentak mendatang bisa berjalan lancar, tanpa meninggalkan banyak sengketa. Semua kontestan juga harus siap menang siap kalah", kata Leo menambahkan.