image

Pemilu Dan Parpol Memprihatinkan, Perlu Perbaikan UU

Jumat, 07 April 2017 20:14 WIB

Sistem kepartaian dan sistem Pemilu selama ini belum sesuai dengan harapan bahkan cenderung memprihatinkan. Proses kaderisasi di partai politik masih lemah dan makin dikuasai kaum pemodal. Pemilu yang berintegritas juga belum terwujud karena kentalnya karakter transaksional dalam proses Pemilu. Akibatnya, para elit penyelenggara negara yang dihasilkan belum sesuai dengan harapan. Karenanya, perlu perbaikan mendasar di level undang-undang. 

Hal itu merupakan kesimpulan umum yang mencuat dalam acara Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Partai Politik dan Pemilu dalam Sistem Presidensiil Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945" yang dilaksanakan Lembaga Pengkajian MPR bekerjasama dengan Universitas Sriwijaya di Hotel Aryaduta, Palembang, Sumatera Selatan, Kamis (6/4). Acara dibuka langsung Ketua Lemkaji MPR, Ir. Rully Chairul Azwar, M.Si., I.Pu. Hadir juga Wakil Ketua Lemkaji MPR, Prof. Dr. Syamsul Bahri, M.Sc., Drs. Hajriyanto Y. Thohari, MA., Dr. Alfan Alfian, Ir. Nanang Samodra KA., M.Sc dan Alirman Sori, M.Hum., MM. 

FGD yang berlangsung sejak pagi sampai sore itu menghadirkan tiga narasumber yaitu Rektor Unsri, Prof. Dr. Ir. H. Anis Saggaf, MSCE, Dekan Fakultas Hukum Unsri, Dr. Febrian, SH., MS. Dan Ketua KPUD Provinsi Sumatera Selatan, H. Aspahani, SE., Ak., MM., CA. FGD juga dihadiri sejumlah dosen FH Unsri dan beberapa pihak lain seperti anggota KPU dan Bawaslu Provinsi Sumsel.

Dalam FGD, terdapat suara keprihatinan yang sama tentang makin pragmatisnya kehidupan politik nasional yang diwarnai dengan dominannya pengaruh modal dan kaum pemodal baik dalam partai politik maupun dalam proses pelaksanaan Pemilu. Akibatnya, di level grass root, kedaulatan rakyat belum berjalan secara sempurna karena proses pemilu masih diwarnai dengan makin menguatnya money politics dan pilihan-pilihan rakyat bukan mencerminkan pilihan cerdas namun lebih karena faktor yang bersifat transaksional.

Dalam FGD diungkap, faktor penyebab hal tersebut karena masih banyaknya kelemahan yang terjadi di dua level. Di level konstitusi, terdapat pandangan bahwa sistem pemerintahan yang kuasi-presidensial, dimana sistem presidensiil digabung dengan sistem multi-partai, merupakan penyebab masih kurang berjalannya sistem politik secara maksimal. Namun mayoritas peserta FGD menyatakan, persoalan tidak terletak pada konstitusi namun aturan di level undang-undanglah yang menjadi kekurangan utama sistem pemilu dan sistem kepartaian yang ada di Indonesia.

Dalam UU misalnya, tidak ada kejelasan tentang lembaga mana yang melakukan pembinaan pada partai politik, padahal partai politik berfungsi, salahsatunya, melakukan pendidikan politik pada rakyat. Selain itu, mayoritas peserta FGD setuju pada upaya penyederhanaan partai politik, dengan catatan hal itu dilakukan secara alamiyah melalui diterapkannya syarat berat untuk menjadi peserta pemilu bagi partai baru dan parliamentary treshold. Salah satu ide menarik yang muncul adalah, partai baru, bisa diikut sertakan dalam pemilu jika sudah berjalan selama lima tahun.

Selain itu, terdapat juga beberapa usulan terkait perbaikan partai meliputi perbaikan sistem kaderisasi, sistem rekruitmen calon pemimpin di legislatif dan eksekutif serta kualitas sumber daya manusia parpol. Mengenai hal itu, relasi antara dunia politik dengan dunia pendidikan tinggi menjadi sorotan. Kalangan perguruan tinggi bisa terlibat dalam upaya mendidik SDM parpol lewat jalur akademik, bukan jalur gelar kehormatan. Perguruan tinggi juga bisa dilibatkan dalam pengkajian bersama parpol jika ada kebijakan krusial yang ingin dirumuskan. Guna mengurangi pengaruh pemodal dalam parpol, ada usulan agar pendanaan parpol berasal juga dari negara.

Mengenai perbaikan sistem Pemilu, terdapat kesepakatan pada sistem proporsional. Meski begitu diusulkan juga agar sistem proporsional yang dipakai bersifat semi-terbuka yang menggabungkan hak partai mencalonkan dengan hak rakyat untuk memilih sendiri calonnya. Hal itu agar ada jaminan bagi para aktifis/pengurus partai yang sudah berjuang lama di partai untuk dapat dipilih dengan nomor urut jadi. Namun para pendatang baru yang memiliki popularitas dan modal kuat juga diberikan kesempatan pada nomor urut berikutnya. Diusulkan juga agar syarat keanggotaan DPD adalah bebas dari partai politik. Terkait Pilkada, ada usulan diterapkan batas maksimal dukungan parpol pada kandidat calon kepala daerah supaya tidak ada calon dominan yang “memborong” dukungan parpol.

Mengenai penyelenggara Pemilu, terdapat sorotan pada soal terlalu banyaknya kepentingan dalam proses rekrutmen calon

anggota KPU dan Bawaslu di pusat dan di daerah. Hal itu membuat seleksi para penyelenggara pemilu itu menghasilkan para penyelenggara pemilu yang integritasnya memprihatinkan karena tidak independen dan sarat kepentingan. Akibatnya, proses pemilu berlangsung dengan sejumlah rekayasa hasil yang ironisnya disinyalir melibatkan para penyelenggara pemilu itu sendiri. Untuk itu, salah satu usul yang muncul dalam FGD adalah sentralisasi Tim Seleksi anggota KPU dan Bawaslu. Ada usulan juga agar KPU tidak berfungsi sebagai regulator melainkan penyelenggara teknis pemilu saja. Sebaliknya, Bawaslu harus dipertegas kewenangannya dalam UU.