image

Surat Untuk Presiden

Rabu, 28 Januari 2015 20:25 WIB

RRI menerbitkan buku. Menggambarkan harapan masyarakat kepada Presiden. Dihimpun menjelang Pemilu yang lalu.

Di meja yang berada di depan Ruang Presentasi Perpustakaan MPR, terhampar buku dengan judul Surat Untuk Presiden. Begitu dikatakan buku itu bisa diambil dengan cuma-cuma, buku itu langsung ludes beralih ke tangan banyak orang.

Di antara banyak orang ada yang mengernyitkan dahi, pasalnya buku itu dicetak oleh Radio Republik Indonesia (RRI). Bukankah lembaga itu selama ini hanya berurusan dengan urusan berita dalam bentuk suara yang disiarkan ke segala penjuru nusantara bahkan dunia. Pihak RRI yang hadir dalam acara itu, Kabul Budiono, mengatakan, salah satu tugas RRI adalah ikut mendorong dan menegakkan demokrasi serta memberi ruang kepada publik untuk mengeskpresikan pendapat. “Tugas itulah yang selama ini dijalankan oleh RRI,” ujarnya dalam acara yang diselenggarakan pada 28 Januari 2014.

Ruang ekspresi yang diberikan RRI kepada publik dicontohkan dengan dibukukannya pendapat masyarakat tentang calon Presiden menjelang Pemilu Presiden 2014. “Pendengar mengirim surat kepada RRI,” tuturnya.

Apa yang dihimpun dalam buku itu dan pada hari ini dibedah, menurut Kabul merupakan surat-surat pilihan dari para pendengar yang dikirim dari seluruh Indonesia bahkan ada seorang tunanetra yang juga mengekspresikan kriteria seorang Presiden. “Untuk itu buku juga akan dicetak dalam huruf braille,” ungkapnya. Huruf khusus bagi kaum tunanetra.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid dalam sambutan mengatakan, buku yang menghimpun suara anak bangsa itu dalam konteks demokratisasi. Kumpulan surat kepada Presiden itu menunjukkan bahwa demokrasi sedang berjalan di Indonesia. Demokrasi yang berjalan, menurut Hidayat adalah demokrasi yang terbuka, melibatkan banyak pihak, termasuk anak-anak. “Karena di dalam buku ini ada surat dari anak-anak,” ujarnya.

Adanya demokrasi yang terbuka, terbukti di mana buku itu bisa terbit tanpa sensor, dikatakan oleh politisi PKS itu bahwa  demokrasi di Indonesia telah berkembang. “Ini wajib kita syukuri,” paparnya. Dengan demikian Indonesia dipandang oleh dunia sebagai negara yang sukses melaksanakan demokratisasi. “Di mata organisasi negara Islam, Indonesia disebut sebagai negara yang terbesar penduduknya beragama Islam dan melaksanakan demokrasi.”

Bagi Hidayat bila demokrasi bergerak maka hal demikian bisa menjadi pintu untuk mengoreksi banyak hal, termasuk mengoreksi ideologi kiri dan kanan yang radikal. Sebagai pimpinan MPR, dirinya menyambut baik penerbitan buku sebab hal demikian sejalan dengan tugas yang telah dilakukan, yakni melakukan sosialisasikan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Alumni Pondok Modern Gontor itu memuji isi buku. “Ketika membaca surat itu terlihat natural dan luar biasa,” ungkapnya. Dirinya berharap dengan adanya surat-surat yang ditujukan kepada Presiden bisa menghadirkan Indonesia seperti yang diinginkan. “Buku itu juga mengingatkan kepada Presiden akan janji-janjinya,” pungkas pria asal Klaten, Jawa Tengah.

Kehebatan buku yang disampaikan oleh Hidayat dibenarkan oleh Sesjen MPR Eddie Siregar. Diakui dirinya telah membaca buku itu yang menurutnya semuanya menginginkan sebuah harapan. “Ada bahasa-bahasa yang lugu dalam surat,” ungkap alumni UGM itu. Justru dengan keluguan itulah maka penulis surat adalah seorang yang tulus. “Kita mesti belajar pada keluguan karena keluguan adalah sebuah ketulusan,” ujarnya.  

Senada dengan Eddie Siregar dikatakan oleh anggota MPR dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu. “Yang namanya surat pastinya merupakan ungkapan, mulai dari unek-unek hingga masalah pribadi,” ucapnya. Semua ungkapan itu merupakan keinginan hidup yang lebih baik.

Kumpulan surat yang terhimpun dalam buku itu diakui oleh Masinton mewakili beragam aspirasi dan kehendak. “Saya berharap surat itu dibaca oleh Presiden dan apa yang diinginkan bisa diwujudkan oleh Presiden,” pungkasnya.